Kepentingan Ekonomi dalam Balutan New Normal
Oleh : Isnawati
Lensa Media News – Aktivitas belajar mengajar di kelas per 13 Juli mendatang akan kembali dibuka oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Pembukaan sekolah di tengah pandemi virus corona bertepatan dengan tahun ajaran baru 2020/2021.
Rencana itu disambut dengan respon yang beragam dari berbagai pihak, salah satunya dari para orang tua. Kekhawatiran dibukanya kembali sekolah menghantui banyak kalangan, mengingat kurva kasus infeksi virus corona masih terus meningkat.
Respon juga muncul dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti melalui akun facebook pribadinya dengan membuat survei. Dari hasil survei uji coba tersebut ada 71% responden menyatakan tidak setuju terhadap rencana pembukaan sekolah. (Kompas.com, 23 Mei 2020)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali menegaskan, kembali belajar di sekolah bukan berarti dengan bertatap muka. Pengajaran jarak jauh tetap dilanjutkan seperti yang sudah dilakukan sejak awal pandemi. Pendapat tersebut senada dengan anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang dikeluarkan pada 22 Mei 2020 lalu.
Sengkarutnya sebuah pelayanan membingungkan rakyat, semua yang terjadi di masa pandemi disebabkan karena salah urus sejak awal. Abainya negara terhadap area wabah, tidak berani menyatakan lockdown, tidak segera melakukan karantina terhadap ODP dan PDP berakibat virus menyebar keseluruh wilayah.
Kecarut marutan itupun berlanjut dengan adanya PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar) yang tidak membawa hasil, tapi justru melumpuhkan semua sektor kehidupan, termasuk pendidikan. Dari kegagalan PSBB, kini pemerintah beralih menuju new normal life yang mulai diterapkan. New normal merupakan solusi ekstrim sebab mengantarkan pada herd immunity.
Dalam kondisi yang sudah carut marut pun pemerintah masih memprioritaskan perbaikan ekonomi. Jangankan keselamatan seluruh rakyat, keselamatan anak-anak juga terabaikan. Masuknya kembali anak-anak ke sekolah di tengah pandemi adalah bukti. Padahal mereka adalah aset bangsa, penerus cita-cita, penerus sejarah. Memang proses pembelajaran secara daring menuai banyak masalah seperti sinyal, dan HP itu sendiri. Sebenarnya masalah-masalah tersebut bisa dihilangkan jika pemerintah mau memprioritaskan dengan berbagai cara. Para guru diberikan pelatihan yang memadai untuk menjalankan belajar online, baik dari sisi sarana dan prasarana.
Sebenarnya wabah ini tidak terjadi saat ini saja, namun sudah pernah terjadi pada masa Umar bin Khattab bahkan pada masa Rasulullah SAW. Ibnu Katsir menceritakan pada tahun 18 Hijriyah bencana pernah terjadi di Kota Madinah. Pada masa itu terjadi kekeringan hingga membuat tanah menghitam, peristiwa itu terjadi pada masa Umar bin Khattab. Di masa Umar bin Khattab juga terjadi wabah Tha’un yang menghantarkan kematian para sahabat. Seperti Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal dan Suhal bin Amr, pada saat itu jatuh korban tidak kurang dari 30 ribu jiwa. Artinya musibah itu tidak mungkin bisa dielakkan sebab sudah menjadi ketetapan Sang Pencipta dan Pengatur. Hari ini menjadi blunder dan menyeramkan sebab penanganannya tegak diatas kepentingan.
Karakteristik kapitalisme dalam menyelesaikan masalah memang selalu menghadirkan masalah baru, rakyat dibuat resah, salah satunya di sektor pendidikan. Kembali sekolah pada saat kurva pandemi belum melandai dan masih buruk akan memicu terjadinya pandemi gelombang dua, dan hal ini sangat berbahaya sebab taruhannya nyawa.
Pihak yang harus bertanggung jawab adalah negara, pendidikan dalam Islam merupakan hak dasar rakyat yang harus dipenuhi dalam kondisi apapun, ada bencana atau tidak ada bencana. Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara dalam Khilafah diberi pos khusus untuk penanggulangan bencana seperti gempa, kelaparan dan semisalnya. Sumber dananya jelas dan benar seperti dari pos fai dan kharaj juga dari harta milik umum. Pajak juga menjadi sumber dana tetapi tidak bersifat terus menerus, diambil hanya pada saat negara mengalami defisit dan itupun bagi rakyat yang berkelebihan. Perekonomian tidak akan kolaps seperti saat ini, pendidikan tidak mungkin sengkarut walaupun belajar di rumah.
Negara dalam khilafah selalu sigap dan tanggap, rakyat pun secara otomatis menerima qodho‘ Sang Pencipta serta taat pada kebijakan yang ditetapkan khalifah dalam menghadapi wabah. Sabar dan taqorrub menjadi sebuah kebutuhan dalam hidup, namun kepemimpinan seperti ini hanya ada dalam negara Khilafah. Solusi yang tuntas adalah kembali pada syariah dan khilafah, tidak ada alasan lagi untuk menolak khilafah apalagi sampai memusuhinya, hanya khilafah yang mampu memberikan Rahmatan Lil Alamin.
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun 11)
Wallahu a’lam bishswab.
[ra/LM]