Diskotek Berjasa bagi Negara?
Oleh: Dita Puspitasari
(Komunitas Setajam Pena)
LensaMediaNews— Maraknya usaha hiburan di kota-kota besar nampaknya menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi negara yang mengemban sistem kapitalis. Usaha hiburan seperti diskotek ternyata masuk dalam kategori penghargaan adikarya tahun 2019.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta kembali menggelar Anugerah Adikarya Wisata 2019. Penghargaan ini diberikan pada bidang usaha dan jasa pariwisata. Mereka dinilai telah berkontribusi nyata dalam mempromosikan pariwisata Jakarta kepada masyarakat Indonesia dan turis asing. Tahun 2019 ini merupakan tahun ke-21 penyelenggaraan, sejak penghargaan ini diselenggarakan pertama kali pada tahun 1991.
Pemberian penghargaan Adikarya Wisata 2019 dari Pemprov DKI Jakarta kepada Diskotek Colosseum menuai pro dan kontra di masyarakat. Penganugerahan itu diberikan melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta kepada 31 pengusaha bidang jasa dan pariwisata. Penyelenggaraan acara pun dilakukan pada 6 Desember 2019 di Kuningan, Jakarta Selatan (liputan6.com, 6/12/2019).
Pemenang dinilai telah berkontribusi dalam mempromosikan pariwisata Jakarta baik kepada wisatawan domestik maupun mancanegara. Namun Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan untuk mencabut penghargaan Adhikarya Wisata kepada diskotek Colosseum.
Penghargaan dicabut karena ada laporan dari Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) DKI Jakarta. Di dalam laporan yang dikeluarkan tanggal 7 September itu disebutkan Colosseum menjadi salah satu diskotek yang mendapat perhatian khusus karena kasus narkotika dan obat-obatan.
Pasalnya usaha hiburan malam diskotik termasuk bagian pariwisata yang diatur oleh undang-undang sehingga keberadaannya legal selama tidak melanggar aturan. Hal inilah yang menjadikan Pemprof Jakarta mendapat sorotan karena memberikan penghargaan Adikarya Pariwisata pada diskotek Colloseum. Penghargaan tersebut wujud apresiasi atas kontribusinya terhadap pengembangan pariwisata sebagai bagian dari program prioritas pembangunan.
Jelas saja ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Hanya berdasarkan bahwa diskotek menjadi salah satu tempat yang biasanya dikunjungi oleh wisatawan atau turis asing sehingga masuk dalam kategori. Dalam mata seorang muslim pasti sangat jelas bahwa dari sudut manapun tidak ada hal positif dari sebuah diskotek yang aktifitasnya tidak lepas dari miras, ikhtilath dan bahkan dekat pada prostitusi dan maksiat lainnya.
Sementara dalam sistem kapitalis hari ini UU menganggap diskotek sebagai bisnis legal bahkan mendapat award saat tidak melanggar regulasi soal miras berijin, prostitusi legal dan tidak bisnis narkoba. Siapapun pemimpinnya selama regulasi yang ditegakkan berasas sekuler kapitalis maka religiusitasnya tidak bisa menghalangi pemberian award di atas.
Berbeda dengan Islam yang tidak memberi tempat pada bisnis sejenis itu. Khilafah melarang beroperasinya diskotek meskipun bisa menyerap tenaga kerja, memberi sumbangan pajak dari miras berijin dan menarik devisa dari wisatawan manca negara.
Dalam Daulah Islam, pariwisata bertujuan untuk dakwah, guna memperkuat keimanan umat lewat tadabbur alam. Menemukan kecintaannya terhadap Sang Pencipta melalui ciptaan Nya. Negara memfasilitasi, tanpa memungut biaya. Karena secara ekonomi negara sudah tercukupi oleh hasil pengelolaan sumberdaya alam. Tentu saja pengelolaan dengan mengacu pada hadlarah Islam, bukan selainnya.
Jadi tidak mungkin terjadi pelanggaran syariat, hingga berbuah maksiat. Aqidah umat terjaga, kesejahteraan tercipta sebab menerapkan aturan dari Allah SWT. Begitulah Islam memandang pariwisata sebagai sarana taqarub ilallah dan dakwah, tidak lebih dari itu, meski mampu mendatangkan devisa bagi negara. Negara akan mengambil sumber perekonomian dari pertanian, perdagangan, industri dan jasa. Keempat sumber ini akan menjadi tulang punggung Negara Khilafah. [RA/LM]