Menyoal Sertifikasi Perkawinan
Oleh: Suryani Izzabitah
(Dosen dan Pemerhati Generasi)
LensaMediaNews – Wacana sertifikasi layak kawin kembali menjadi sorotan publik di tengah-tengah maraknya pergaulan bebas dan meningkatnya pengguna narkoba yang berimbas pada hancurnya ketahanan keluarga. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi mengatakan, “Ya sebelum lulus mengikuti pembekalan enggak boleh nikah,” kata Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis, 14 November 2019 (Tempo.co, 14/11/2019).
Hal senada juga diungkapkan Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakha’i, “Saya setuju jika yang dimaksud sertifikasi adalah sertifikat yang diberikan setelah mengikuti suscatin (kursus calon pengantin) yang telah digagas Kementrian Agama.”
Imam menilai, wacana mewajibkan sertifikasi perkawinan merupakan upaya negara dalam membangun keluarga yang kokoh, berkesetaraan, dan berkeadilan. Sehingga, pasangan yang sudah menikah diharapkan mampu membangun keluarga sejahtera (Tempo.co, 14/11/2019).
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan sertifikasi persiapan perkawinan bisa mencegah pernikahan dini (Liputan6.com, 16/11/2019). Selain alasan-alasan di atas, tingginya angka stunting merupakan salah satu alasan diadakannya pelatihan pranikah tersebut.
Seperti yang dikatakan Wakil Presiden, Ma’ruf Amin bahwa pelatihan pranikah tersebut juga bisa mencegah terjadinya stunting. Hal ini sejalan dengan tema Hari Kesehatan Nasional pada tahun ini yang jatuh pada tanggal 12 November yaitu “Generasi Sehat Indonesia Unggul” dengan fokus pada Sumber Daya Manusia berkualitas yang terdiri dari dua aspek yakni stunting dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sertifikasi Perkawinan, Upaya Solutif?
Wacana ini rencananya akan diberlakukan pada tahun 2020. Pihak-pihak terkait yakni Menteri Agama, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Kemanusiaan dan Kebudayaan (Menko PMK), dan Menteri Kesehatan nampaknya sangat serius. Jika dilihat dari satu sisi, memang tidak ada yang keliru dari sertifikasi perkawinan ini.
Namun tidak terlihat secara signifikan benang merah antara sertifikasi perkawinan yang diharapkan akan menciptakan keluarga sejahtera dengan berbagai alasan yang dijadikan pemerintah untuk membuat regulasi ini. Stunting (kondisi gagal tumbuh) saat ini menjadi fokus pemerintah.
Diharapkan dengan sertifikasi perkawinan ini, angka stunting dapat diminimalkan. Namun, perlu dianalisis secara cermat bahwa upaya ini tidak bisa berjalan sendiri karena banyak faktor lain yang terkait. Misalnya; ketersediaan pangan, terjangkaunya harga pangan, dan lapangan kerja guna mencukupi kebutuhan pokok.
Begitupun remaja dengan segudang permasalahannya; mulai dari seks bebas (perzinaan, aborsi, hamil di luar nikah), narkoba, tawuran, begal, dan yang lainnya. Kondisi keluarga Indonesia secara umum terlihat dari fakta-fakta di atas sungguh sangat mengerikan.
Adanya upaya pemerintah mengatasi berbagai permasalahan keluarga dengan solusi sertifikasi perkawinan bukanlah solusi mendasar dan cerdas, sebab tidak menyentuh akar masalah. Berupaya mencegah di satu aspek, namun di banyak aspek keran masuknya kemaksiatan begitu terbuka lebar akibat diterapkannya sistem sekuler.
Ibarat jauh panggang dari api. Di sistem sekuler (pemisahan agama dari kehidupan), berharap sesuatu untuk perbaikan menyeluruh adalah utopis karena solusi yang ditawarkan adalah solusi pragmatis.
Berusaha tambal sulam kerusakan yang sudah terjadi, bukan upaya preventif sehingga membutuhkan energi yang besar dan tentu saja cost yang tinggi. Padahal jika kita ingin pure melihat bahwa berbagai kemaksiatan atau kerusakan yang timbul bukan karena satu atau beberapa faktor saja tetapi karena akar masalah kerusakan tidak pernah tersentuh yakni tidak diterapkannya aturan dari Sang Pencipta dalam semua aspek kehidupan.
Islam Solusi Tuntas
Islam adalah sistem kehidupan yang sempurna dan menyeluruh. Berbagai aturan hidup yang diterapkan untuk manusia dan makhluk hidup lainnya begitu paripurna, sehingga celah kemaksiatan akan sangat minim terjadi. Produk hukum dalam bentuk syariat Islam mengatur hubungan manusia dalam tiga dimensi yakni hubungan manusia dengan Pencipta, manusia dengan diri sendiri, dan manusia dengan manusia lain.
Dalam Islam, pernikahan adalah perjanjian yang kuat, sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nisaa: 21
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Anas bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila seorang hamba menikah maka sungguh orang itu telah menyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya.”
Sertifikasi perkawinan yang diwacanakan pemerintah perlu pengkajian yang lebih mendalam. Masih banyak hal lain yang lebih urgen dan mendesak agar tercipta ketahanan keluarga yang menjadi dambaan semua insan. Peran individu dalam menjaga ketahanan keluarga dengan ketakwaan kolektif tidaklah cukup.
Negara wajib hadir sebagai pengatur urusan rakyatnya. Iklim ekonomi yang kondusif bagi pencari nafkah keluarga, jaminan kesehatan berkualitas dan gratis serta peran media yang steril dari nilai liberal adalah hal-hal yang harusnya menjadi perhatian serius.
Hanya dalam sistem Islam kondisi ini dapat terealisasi karena Islam menjaga semua pemenuhan hak-hak warga negaranya hingga tercipta ketahanan keluarga, bukan hanya sekadar lembaran kertas berupa sertifikat perkawinan.
Wallahua’lam bishshowab.
[ln/LM]
.