Isu Stafsus dalam Lingkaran Oligarki
Oleh : Denik Tias, S. Kom
(Pegiat Literasi Islam)
LensaMediaNews – Fungsi dan peran birokrasi, pada prinsipnya ialah memberikan pelayanan penuh terhadap masyarakat. Namun apa jadinya ketika sosok birokrat terpilih diambil dari lingkungan elit tertentu. Umumnya adalah entrepreneur, sociopreneur, dan edupreneur. Yang tak bisa dipungkiri profit menjadi sendi setiap aktivitasnya. Bisakah mereka menjadi lakon bagi umat, terdepan dalam memberikan full services dengan pola merakyat?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memilih 12 staf khusus. Semuanya berasal dari kaum milenial. Staf khusus presiden bisa dibilang sebagai profesi yang cukup mentereng. Pemasukan dari profesi ini pun juga menggiurkan. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 144 Tahun 2015 hak keuangan yang diterima stafsus presiden mencapai Rp 51 juta. Hak keuangan sendiri terdiri dari gaji dasar, tunjangan kinerja, dan pajak penghasilan (Finance.detik.com,22 nov 2019).
Tercium jelas aroma politik bagi-bagi kekuasaan atau politik akomodatif. Sebab, sebagian besar adalah pendukung Presiden terpilih pada Pilpres 2019.
Mantan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah turut mengkritik keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menunjuk tujuh dari 12 staf khususnya dari kalangan generasi milenial. Menurut Fahri, pekerjaan staf khusus adalah pekerjaan yang berat karena mereka adalah pembisik presiden. “Karena sekali lagi sejarah pengangkatan stafsus itu, harus terdiri dari orang-orang yang punya kapasitas, meski itu hak presiden untuk mengangkat staf tapi memang pekerjaan itu pekerjaan cukup berat,” ujar Fahri (tirto.id, 22/11/2019).
Keberadaan stafsuspun dinilai banyak duplikasi dan tumpang tindih. Sebab, di lingkaran pemerintahan Jokowi ada sekretariat negara, sekretaris kabinet hingga kepala staf presiden.
Birokrasi Islam
Birokrasi adalah tata cara yang digunakan oleh pemerintah untuk melayani kemaslahatan masyarakat. Birokrasi ini merupakan akumulasi dari tata cara dan sarana yang dimanfaatkan untuk merealisasikan kemaslahatan tersebut, dan menganut asas desentralisasi.
Birokrasi Islam mempunyai profil yang agung, yakni mekanisme yang sederhana, cepat dalam pelayanan dan penyelesaian, dan dikerjakan oleh orang yang profesional. Ketiga prinsip tersebut dibangun berdasarkan realitas manusia yang memerlukan kemaslahatannya dipenuhi dengan cepat, tidak berbelit-belit, dan selesai secara memuaskan.
Karena itu ditekankan dalam sistem Islam, orang yang menjadi penyelenggara birokrasi harus memenuhi syarat-syarat melayani kemaslahatan umat. Syarat-syaratnya antara lain: bertakwa kepada Allah, ikhlas, amanah, mampu, dan profesional.
Dalam fragmentasi sejarah, Khalifah Umar bin Khattab membuat keputusan yang mengharuskan para pejabat negara untuk diketahui dulu jumlah harta kekayannya tatkala memulai menjabat.
Pada akhir masa jabatan, harta kekayaan pejabat tersebut dihitung kembali. Jika terdapat selisih setelah dikurangi dengan gaji atau tunjangan selama kurun waktu jabatannya, maka Umar bin Khattab merampas paksa kelebihannya dan diserahkan harta kekayaan itu ke Baitul Mal. Khalifah Umar bin Khattab melarang seluruh pejabat negara untuk berbisnis dan sejenisnya.
Umar bin Khattab memerintahkan mereka mencurahkan seluruh kemampuan melayani masyarakat. Khalifah Umar bin Khattab merampas separuh keuntungan dari penjualan kambing gembalaan anaknya, Abdullah, dan menyerahkannya kepada Baitul Mal, karena dia telah mengembalakan kambingnya di padang gembalaan milik negara yang subur, sehingga kambingnya menjadi gemuk.
Dari pondasi inilah kemudian Islam membangun berbagai perangkat aturan praktis dan administratif menuntaskan masalah yang ada dalam birokrasi. Jauh berbeda dengan masa kini. Islam terbukti menjadi solusi efektif menciptakan birokrasi yang tak hanya kuat namun bersih dan baik. Maka, tak ada lagi sanggahan untuk tidak bersegera menerapkan birokrasi Islam ini, agar kemaslahatan umat segera terwujud.
Wallahu a’lam biashowab.
[ry/LM]