Desa ‘Siluman’, Salah Data atau Modus Menilap Dana Desa?
Oleh: Eni Imami S.Si
(Pendidik, Member Revowriter)
LensaMediaNews— Desa ‘Siluman’, istilah yang disebut Sri Mulyani Indrawati saat melaporkan evaluasi kinerja APBN Tahun Anggaran 2019. Ia mengklaim desa tersebut sengaja diciptakan untuk menyelewengkan dana desa yang sudah beberapa tahun ini disalurkan pemerintah (CNN Indonesia, 7/11/2019).
Kementrian Keuangan (Kemenkeu) mengalokasikan anggaran dana desa cukup besar. Anggarannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari Rp20,67 triliun atau sekitar Rp280,3 juta per desa pada 2015 hingga menjadi Rp60 triliun atau sekitar Rp800,4 juta per desa pada 2017. Sedangkan tahun 2018, naik lagi menjadi Rp70 triliun. Pada 2019, pemerintah memutuskan untuk tetap mengalokasikan anggaran dana desa sebesar Rp70 triliun. Anggaran tersebut disalurkan untuk 74.597 desa. (m.liputan6.com, 12/11/2019)
Ungkapan Sri Mulyani tentang desa ‘siluman’ membuat meradang sejumlah pihak di antaranya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar membantah pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut adanya desa fiktif yang telah menerima anggaran dana desa dari pemerintah.
Kasus desa ‘siluman’ ditemukan di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Dari 56 desa, terdapat 23 desa yang tidak terdata di Kemendagri dan ada tiga desa diduga siluman karena tidak memiliki wilayah, penduduk, kepala desa, dan tidak memiliki struktur organisasi, namun menerima aliran dana desa.
Menyikapi hal ini, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengaku tak terkejut. Pasalnya, basis data yang dimiliki pemerintah masih terbatas, khususnya di daerah. Hal ini juga dibenarkan oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus, mengalirnya dana desa ke tempat fiktif lantaran kurangnya pengawas di masing-masing desa.
Kendati demikian, persoalan desa siluman tak sekadar buruknya basis data. Penambahan pengawas juga bukan satu-satunya solusi. Sekali pun pemerintah nantinya berhasil menindak pelaku dari pembuat desa ‘siluman’ ini, kalau tata kelola tak dibenahi dana desa berpotensi terus bermasalah.
Besarnya kucuran dana desa menggiurkan sejumlah pihak. Jangankan desa fiktif, dana desa yang ada saja jadi bancakan pejabat setempat. Koordinator Divisi Hukum ICW Tama S Langkun mengatakan, ratusan kepala desa sudah menjadi pesakitan lantaran menilap dana desa. “Dalam tiga tahun terakhir ada 212 kepala desa jadi tersangka karena tindak korupsi dan ini meningkat cukup pesat. Periode 2016-2017 itu atau dalam dua tahun ada 110 kepala desa jadi tersangka, 2018 atau dalam setahun sebanyak 102 kepala desa jadi tersangka,” papar Tama kepada Liputan6.com, Senin (11/11/2019).
Korupsi tak hanya terjadi di pusat. Seakan berjalan secara struktural, birokrasi amburadul menghasilkan aparat negara yang tega menilap harta rakyat. Begitulah sistem politik dan pemerintahan yang berjalan saat ini. Aparat negara tak memposisikan diri sebagai pengurus (raa’in) dan penanggung jawab (mas’ul) urusan rakyat. Tak ada rasa takut menghianati amanah rakyat dan Allah Swt. Semua tak ada dalam pikiran apalagi penerapan dalam kehidupan. Karena masalah kehidupan dipisahkan dengan ajaran agama. Inilah sistem kehidupan sekulerisme. Maka tak usah bermimpi kasus desa ‘siluman’ akan selesai jika sekulerisme masih diterapkan di negeri ini.
Setiap memimpin adalah raa’in yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Begitulah Islam mengajarkan. Baik bagi pemimpin jabatan tertinggi negara maupun tingkat desa. Islam sangat memperhatikan terkait penataan birokrasi dan pejabat negara.
Dalam mengangkat pejabat/pegawai negara, sistem Islam menetapkan syarat ketakwaan individu selain profesionalitas. Sebagai seorang muslim, jabatan adalah amanah yang dipertanggung jawabkan di dunia dan akhirat. Hal ini menjadi self control para pejabat tidak berbuat curang. Pun sebelum menjabat, akan diaudit harta kekayaannya. Jika pada akhirnya saat menjabat ada penambahan harta yang mencurigakan akan dilakukan verifikasi secara syar’i. Jika terbukti melakukan kecurangan/ korupsi maka akan diproses hukum dengan tegas. Hukuman dapat berupa peringatan, penyitaan harta, pengasingan, hingga hukuman mati.
Khalifah Umat bin Khaththab pernah membuat kebijakan mengaudit kekayaan para pejabatnya, sebelum dan setelah menjabat. Bahkan Umar melarang para pejabatnya berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan.
Negara dengan sistem Islam juga memberikan gaji yang cukup bagi para pejabat/pegawai negara. Baik kebutuhan primer maupun sekunder, bahkan tersier. Di samping itu, biaya hidup dalam sistem Islam tak mahal layaknya sistem sekuler dengan ekonomi kapitalisnya. Karena politik ekonomi Islam diterapkan dengan menjamin kebutuhan seluruh rakyatnya.
Tampaklah kesejahteraan bagi para pejabat negara dan seluruh rakyatnya. Demikian Islam mengatur seluruh tata kehidupan termasuk mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dari praktik kecurangan seperti munculnya desa ‘siluman’ untuk menilap harta rakyat. Karena para pejabat yang diangkat adalah orang-orang bertakwa dan sistem yang dijalankan bersumber dari Allah Swt Pencipta seluruh alam. Wallahu a’lam bishawab. [LN/LM]