Radikalisme dan Menguatnya Islamophobia
Oleh: Arin RM, S.Si
LensaMediaNews – Opini seputar radikalisme masih ramai diperbincangkan. Pasalnya, topik seputar radikalisme seolah tak berhenti susul menyusul ke permukaan. Bahkan ada wacana terstrukur untuk mengendorkan tensi radikalisme dengan program deradikalisasi.
Namun, sejauh ini pemaknaan radikalisme sendiri masih belum seragam, tidak sama pada setiap orang.
Radikalisme yang tak jarang dibumbui dengan unsur Islam justru dikhawatirkan memicu islamophobia di tengah masyarakat, takut akan Islam, ajarannya, dan pengembannya. Masyarakat akan resah dengan Islam karena takut dinilai terpapar radikalisme. Padahal radikalisme adalah istilah Barat, bukan dari Islam.
Radikalisme berasal dari kata radical atau radix yang berarti “sama sekali” atau sampai ke akar-akarnya. Dalam kamus Inggris-Indonesia susunan Surawan Martinus kata radical disama artikan (sinonim) dengan kata fundamentalis dan extreme. Radikalisme berasal dari bahasa Latin radix, radicis, artinya akar; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada kata “akar” atau mengakar.
Disayangkan, istilah radikalisme kemudian dijadikan sebagai alat untuk menyerang dan menghambat kebangkitan Islam. Barat melakukan monsterisasi bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan.
Monsterisasi inilah yang kelak melahirkan islamophobia di Barat dan seluruh dunia. Inilah cara terakhir Barat untuk melanggengkan hegemoni ideologi Kapitalisme sekular dengan menyebarkan paham demokrasi.
Proyek antiradikalisme atau deradikalisasi terus digulirkan dengan menggulirkan wacana moderasi agama. Ironinya, banyak kaum muslim yang ikut terlibat dalam berbagai program deradikalisasi.
Walhasil, dalam tubuh kaum muslim sendiri terjadi perpecahan. Pihak yang teruduh radikal perlu dideradikalisasi, dan pihak yang mengikuti arus moderasi. Umat yang seharusnya bangkit untuk menjemput kemenangan Islam justru disibukkan dengan kecurigaan dengan sesamanya.
Lebih dari itu, tidak sedikit yang kemudian justru semakin tidak mau berdekatan dengan Islam, takut mendekati dan mempelajari Islam lantaran termakan isu negatif yang berkembang liar.
Amat disayangkan, di tengah menumpuknya permasalahan bangsa harusnya fokus pembinaan dioptimalkan untuk mengedukasi anak bangsa agar turut memikirkan solusi yang terbaik. Bukan terus berkutat pada narasi radikalisme.
Terlebih definisi radikalisme cenderung subjektif. Berpotensi ditarik sesuai kepentingan, tak lagi merujuk pada definisi asal di KBBI yang sebenarnya netral.
Disinilah pentingnya muslim harus cerdas. Muslim harus membina diri agar memiliki kesadaran Islam yang tinggi. Hal itu diperlukan agar tak selamanya muslim dan Islam menjadi objek subjektif sesuai kepentingan. Agar tidak mudah percaya dengan narasi negatif tentang agamanya.
Agar terus fokus pada kontribusi terbaik untuk bangsa dan negara. Sebab semua yang negatif pada dasarnya akan menghambat kebangkitan Islam. Padahal kebangkitan Islam itu sendiri adalah sesuatu yang niscaya. Sehingga lebih baik muslim sibuk menyambutnya daripada terseret narasi radikalisme yang menjadikan menguatnya islamophobia.
[el/LM]