Konspirasi Berujung Revisi Undang-Undang KPK
Oleh: Puji Ariyanti
(Ibu dan Pemerhati Generasi)
LensaMediaNews – Ketika opini publik dipenuhi dengan kasus kerusuhan Papua, tiba-tiba sidang paripurna DPR RI bersepakat merevisi Undang-undang Nomor 30 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Usulan revisi sebagai inisiatif DPR itu sendiri disahkan oleh 70 anggota DPR, dan kemudian disahkan sebagai UU oleh 80 orang anggota DPR dari jumlah total 560.
Pemerintah dan DPR pada Selasa (17/9) lalu resmi mengesahkan perubahan Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Revisi UU KPK (TRIBUNNEWS.COM). Hal ini menimbulkan tanda tanya besar, karena revisi UU KPK tersebut terkesan tertutup dan dilakukan buru-buru dan tentu saja kebijakan tersebut sangat menguntungkan koruptor.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, saat ini ada tiga undang-undang yang menguntungkan bagi pelaku korupsi. Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan RUU Pemasyarakatan yang masih dalam pembahasan.
Pertimbangan DPR dan pemerintah sudah jauh dari sebuah upaya menghadirkan “pemerintahan yang bersih dari korupsi” seperti yang digadang-gadang sebelumnya. Jika selama ini negara telah melakukan berbagai cara dalam melakukan pemberantasan korupsi, nyatanya korupsi justru semakin marak dan merajalela. Itu artinya, cara ini menuai kegagalan.
Apalagi jika pemerintah dan DPR bersepakat memberikan perlakuan istimewa kepada para koruptor. Yang seharusnya hukuman tersebut memiliki efek jera. Ini menunjukkan betapa negeri ini tidak memiliki pemimpin yang amanah terhadap kepengurusan rakyat.
Jika negara ini bersih dari manusia-manusia yang berakhlak buruk yang gemar mencuri uang rakyat tentu saja KPK tidak dibutuhkan. Namun sementara ini KPK dinilai lemah karena campur tangan kekuasaan. Tentu saja dengan adanya aturan baru tersebut justru semakin melemahkan fungsi KPK.
Revisi UU KPK dan yang sedang digodok akan memberikan dampak lain yaitu anggapan korupsi adalah perkara biasa, padahal seharusnya kejahatan luar biasa yang wajib diterapkan (penegakan) hukum luar biasa. Karena sejatinya korupsi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, definisi yang tepat memunculkan solusi yang tepat pula.
Revisi undang-undang KPK terdapat upaya pelemahan secara masif. Diantaranya kewenangan pimpinannya dibatasi, kewenangan merekrut penyelidik independen dihilangkan dan perkara korupsi yang sedang ditangani dibekukan dan sebagainya.
Di era rezim ini koruptor makin bermegah-megahan, karena kebijakan yang pro koruptor. Demokrasi bukan hanya melahirkan wakil-wakil rakyat (DPR) yang tidak kompeten, tetapi juga menghasilkan banyak kepala daerah yang korup.
Sesungguhnya akar persoalannya adalah penerapan sistem demokrasi dan pemilihan pejabat publik yang membuka celah bagi koruptor, kemudian aspirasinya masuk ke ranah legislasi. Korupsi bukan sekedar individu yang buruk namun sudah menjadi masalah sistemik.
Eleminasi Korupsi dengan Aturan Ilahi
Korupsi kian sewenang-wenang karena demokrasi sekuler mengharuskan sistem politik berbiaya tinggi. Materi menjadi pijakan kemakmuran namun ketakwaan semakin terabaikan. Maka model apapun yang digunakan oleh KPK untuk menjerat korupsi jika sistemnya memisahkan agama dari pengaturan kehidupan negeri ini, maka korupsi tidak akan terhapuskan.
Sesungguhnya dalam sistem Islam, terdapat mekanisme dalam menghapus korupsi. Pertama sesungguhnya persoalan membuat keputusan hukum syara’ selayaknya diserahkan kepada Allah semata, dengan demikian Allah sajalah yang berdaulat.
Kedua ada penguasa yang mampu menerapkan atas hukum syara’ tersebut dan ketiga adanya rakyat yang bertakwa. Dengan demikian Islam akan senantiasa menjaga setiap individu dengan mekanisme penjagaan yang utuh. Untuk itu korupsi akan dipandang sebagai sebuah kejahatan. Ketakwaan kepada Allah semata yang mampu mencegah adanya perbuatan dalam melanggar hukum syara’. Allah berfirman:
Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Karena itu ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain karena bisa menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. Demikianlah kalian diperintahkan agar kalian bertakwa (QS al-An’am [6]: 153).
Wallahu a’lam bishawab.
[LS/Ry]