Rakyat Di Kejar-Kejar Pajak
Oleh: Eni Mu’ta S.Si
(Pendidik, Revowriter Jombang)
LenSaMediaNews– Pajak menjadi andalan pendapatan negara. Hal ini ditegaskan oleh Jokowi dalam penyampaian pidato Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 beserta Nota Keuangan di hadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) (16/8/2018).
Sebagaimana di lansir Tirto.id, Jokowi menyatakan “Peran penerimaan perpajakan yang semakin besar sebagai penyumbang utama pendapatan negara, mencerminkan kemandirian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di samping menggali sumber-sumber penerimaan, pemerintah juga akan terus menjaga iklim investasi dan kemajuan dunia usaha domestik dengan kebijakan intensif perpajakan.”
Setiap tahun selalu terjadi target peningkatan pajak. Baik secara kuantitas (jumlah rupiah) maupun kualitas (jenis pajak dan jumlah pembayar pajak).
Tahun 2018 setoran pajak mencapai 81 persen dari total APBN. Di tahun 2019 ini, pemerintah semakin agresif menggenjot pajak. Berbagai kebijakan dibuat untuk menghadapi tren ekonomi digital dan mengoptimalkan teknologi informasi dalam mendukung administrasi perpajakan.
Tagline bayar pajak semudah isi pulsa menjadi terobosan baru. Ide yang di gagas oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani ini muncul karena melihat gampangnya orang isi pulsa secara online. Sambil makan pun bisa. Harapannya jika bayar pajak semudah itu maka pendapatan pajak bisa lebih besar.
Sri Mulyani juga mengingatkan wajib pajak agar tak menghindar dari kewajibannya. Karena Ditjen Pajak kini bisa mengendus harta sekalipun disembunyikan di dalam sumur. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyatakan, jika ada yang mau menggali sumur untuk menyimpan hartanya akan dicari pakai drone di situ. (Detik.com, 02/08/2019)
Pemerintah memang tak main–main mengejar rakyat dengan aneka pajak. Nyaris, semua aspek dipajaki. Saat ini, Indonesia juga sudah tergabung dalam pertukaran data perpajakan secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI).
Dari sini dapat diakses secara otomatis data informasi perpajakan. Menurut Sri Mulyani, saat ini ada sekitar 47 juta transaksi yang dilaporkan dalam pertukaran data perpajakan. Nilai harta yang dilaporkan bahkan mencapai ribuan triliun.
Penggenjotan Pajak ini juga bagian dari ketundukan pada intruksi Bank Dunia. Pasalnya Lembaga Internasional Moneter Finance (IMF) menilai kinerja perpajakan Indonesia masih rendah. Untuk mengatasi itu, IMF merekomendasikan Strategi Penerimaan Jangka Menengah atau Medium-Term Revenue Strategy (MTRS) untuk diterapkan pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP). (Kontan.co.id, 04/08/2019)
Isi dari rekomendasi MTRS diantaranya; Pertama, reformasi administrasi perpajakan. Kedua, reformasi perpajakan dengan merampingkan sistem perpajakan. Ketiga, memperluas basis pajak yang sudah berlaku. Keempat, kebijakan meningkatkan tarif pajak atau mengenakan tarif pajak baru untuk meningkatkan penerimaan secara subtansial.
MTRS tersebut, oleh IMF dinyatakan akan mampu meningkatkan pendapatan negara 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama lima tahun ke depan, untuk membiayai belanja prioritas, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan jaring pengaman sosial. Jika demikian, artinya rakyat dijadikan sebagai tulang punggung negara melalui pajak. Lantas apa peran negara dalam mengurusi kebutuhan warganya?
Pajak memang bukan perkara yang diharamkan. Istilah pajak dalam Islam dikenal dengan dharibah. Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha’ menyatakan bahwa dharibah adalah kewajiban non-syar’i yang ditetapkan oleh negara terhadap harta atau orang.
Pajak tidak dijadikan andalan pendapatan negara. Karena pajak dipungut dalam kondisi emergency saja. Saat kas negara kosong atau kurang, sedangkan kebutuhan negara banyak pembiayaan, jika tidak segera disolusi akan menimbulkan bahaya bagi warga negara. Pajak hanya dipungut dari orang Islam yang mampu, diambil tidak lebih dari yang dibutuhkan negara, dan tidak bersifat permanen.
Sistem Islam memiliki sumber pendapatan yang jelas untuk menyejahterakan rakyatnya. Secara garis besar ada empat kelompok sumber pendapatan negara. Pertama, dari pengelolaan sumber daya alam milik umum. Diantaranya hasil dari pengelolaan air, hutan, sumber energi, barang tambang, jalan, tanah-tanah umum dan masih banyak yang lainnya. Negara mengelolahnya untuk kebutuhan rakyat. Tidak boleh dimiliki oleh individu atau kelompok orang, apalagi asing.
Kedua, sumber pendapatan dari fa’i, kharaj, ghanimah, dan jizyah serta harta milik negara yang lainnya. Ketiga, harta zakat. Keempat, sumber pendapatan temporal, seperti infak, wakaf, sedekah, harta penguasa yang ghulul (haram), dan harta ahli waris yang tak ada ahli warisnya.
Sumber-sumber pendapatan tersebut dikelola oleh lembaga keuangan negara yang disebut Baitul Mal. Digunakan sesuai pos-pos pengeluaran yang telah ditetapkan. Ini sudah cukup bahkan bisa berlebih untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan membangun infrastruktur negara. Negara dapat sejahtera tanpa harus mengejar-ngejar rakyatnya dengan pajak.
Allahua’lam bisshowab.
[Lm/Hw/Fa]