Penjajahan di Balik Kata Kemerdekaan
Semarak kemerdekaan sudah terlihat di mana-mana. Kibaran Sang Saka, pemasangan umbul-umbul, spanduk dan baliho bertuliskan Dirgahayu Republik Indonesia semakin menambah kemeriahan menyambut hari kemerdekaan. Masyarakat pun sangat antusias menyambut peringatan ini.
Di balik penyambutan yang semarak nan meriah, terdapat penyempitan makna dari kemerdekaan. Era post truth saat ini, kemerdekaan diartikan ketika suatu bangsa terbebas dari penjajahan secara fisik dan militer oleh bangsa lain. Padahal, bentuk penjajahan tak hanya fisik ataupun militer, melainkan ada yang lain. Semisal penjajahan pemikiran.
Sebuah negara dikategorikan merdeka jika hak masyarakat sudah diperoleh dan kewajiban pemimpin dilaksanakan dengan baik dan benar. Sehingga tidak ada lagi masyarakat yang terbelenggu dalam intimidasi kesusahan dan ketidakadilan yang dirasakan. Namun pada faktanya justru tidak demikian, malah sebaliknya.
Kemerdekaan diartikan sebagai terbebasnya manusia dari segala bentuk penjajahan. Dalam sebuah atsar disebutkan, ketika Rib’i bin Amr Ra, salah seorang utusan pasukan Islam dalam perang Qodishiyah ditanya perihal kedatangannya oleh Rustum (panglima pasukan Persia), ia menjawab, “Allah mengutus kami (rasul) untuk memerdekakan manusia dari penghambaan manusia menuju penghambaan kepada Allah SWT, dari sempitnya dunia menuju kelapangannya, dari ketidakadilan agama-agama yang ada kepada Islam.”
Dari atsar di atas sangat jelas esensi mendasar dari kemerdekaan, yaitu ketika manusia berada dalam fitrahnya yakni tunduk patuh terhadap hukum syara’ secara keseluruhan. Jika ada manusia yang tidak berada pada fitrahnya, maka manusia tersebut belum bisa dikatan merdeka dan masih terjajah.
Kemerdekaan dapat dimaknai sebagai pembebasan dari segala kezaliman akibat penerapan sistem saat ini. Sejatinya, kembalinya manusia kepada fitrahnya berarti kemerdekaan telah diraih sepanjang hidupnya tanpa ada intervensi dari pihak manapun.
Nurul Fajriyah
[LS/Ah]