Keramahan Negeri yang Mengering
Oleh: Indah Yuliatik
LensaMediaNews- Bulan Juli, menjadi bulan hinggar bingar perayaan Hari Jadi kota Ngawi ke 661. Usia yang amat tua untuk kota kecil dengan sebutan “Kota Ramah”. Berbagai perayaan berderet di kota Ngawi, diantaranya wayang kulit, jalan sehat, pameran wisata, lomba dan masih banyak lagi. Menyajikan hiburan untuk warga Ngawi dan sekitarnya, seolah-olah nampak bahwa kota Ngawi ini merupakan Kota Ramah tanpa masalah.
Disisi lain, musim kemarau mulai melanda berbagai daerah di Kabupaten Ngawi. 45 desa di Kabupaten Ngawi mulai berstatus rawan kekeringan, beberapa mulai mengajukan permohonan bantuan air bersih, diantaranya Tawun, Kyonten, dan Kasreman. Belum lagi ada daerah terpencil lainnya yang tidak terjangkau bantuan Pemerintah Kota. Jumlah Desa kekeringan di Kabupaten Ngawi akan terus bertambah jika kekeringan masih berlanjut hingga bulan berikutnya.
Mirisnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Ngawi mulai kelimpungan terkait krisis air bersih yang melanda beberapa wilayah setempat. Penyebabnya, dana bantuan kekeringan untuk sejumlah desa terdampak yang diajukan ke Pemprov Jatim hingga saat ini belum turun. ‘’Dari pemerintah daerah ada, tapi juga masih belum cair,’’ kata Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Ngawi Teguh Puryadi. Petugas BPBD sementara ini mengambil air dari sumur BPBD hingga bantuan dari Pemerintah kota dan Provinsi turun. (Radarmadiun.com, 17/7/2019)
Keacuhan Pemerintah dalam penanggulangan bencana sangat memprihatinkan, bencana kekeringan dianggap sebagai hal biasa setiap tahunnya. Tidak ada gerak cepat untuk menanggulangi bencana yang setiap tahun datang. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tak kunjung turun untuk mengatasi masalah kekeringan. Sebaliknya, anggaran APBD justru tak masalah jika digunakan untuk acara-acara hiburan yang sebenarnya tidak begitu penting bagi masyarakat.
Kecintaan suatu masyarakat kepada pemimpinnya, akan mereka berikan jika pemimpin memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat ketika dalam keadaan sulit. Inilah bukti pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dia ambil dan sumpah setia melayani masyarakat. Masyarakat tak muluk, mereka tak butuh sederet perayaan kosong. Tapi mereka membutuhkan pelayanan terbaik untuk kesejateraan hidup mereka.
Sebagai umat Islam, kita harus meyakini bahwa setiap bencana merupakan ketetapan dari Allah. Namun, harus ada ikhtiar untuk menghadapi setiap ketetapan yang Allah berikan. Bencana kekeringan ini merupakan ketetapan dari Allah, dibutuhkan ikhtiar dari pemimpin masyarakat untuk menghadapi kekeringan yang terjadi setiap tahunnya.
Teladan kepemimpinan terbaik salah satunya dicontohkan oleh Umar Bin Khattab Ra. Pada masa Umar bin Khattab menjabat sebagai amirul mukminin, terjadi musim paceklik di seluruh kawasan jazirah Arab. Tanaman-tanaman gagal panen, termasuk lahan-lahan di sekitar lembah Sungai Euprat, Tigris, dan Nil. Banyak orang-orang yang masuk ke Madinah untuk meminta bantuan pemerintah. Akhirnya Khalifah Umar membentuk tim untuk menanggulangi bencana kekeringan.
Khalifah Umar mengirim surat kepada Abu Musa di Bashrah dan Amru bin Ash di Mesir. Bantuan pun tiba kepada Masyarakat dari Guberbur Mesir. Sementara itu, Khalifah Umar terus bermunajat kepada Allah untuk diberikan hujan.Tidak ada perlakuan khusus terhadap Umar selama musim paceklik. Umar radhiyallahu’anhu berkata,
“Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan“.
Khalifah Umar menyadari bahwa ia akan mempertanggungjawabkan posisinya sebagai pemimpin. Sebagaimana hadits riwayat Bukhari,
“Imam (waliyul amri) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus”.
Kisah Khalifah Umar Bin Khattab ini, merupakan pelajaran berharga bagi pemerintah sekarang dalam menanggulangi bencana. Hendaknya pemimpin fokus terhadap apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga, setiap bencana yang melanda daerah pemerintahannya dapat teratasi dengan baik.
Wallahu a’lam bishowab.
[LS/Hw]