Proyek Sawah Cina, Masa Depan untuk Siapa?
Oleh: Ibnatu Ahmad
Lensa Media News – Proyek food estate telah banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal dan mencapai target swasembada pangan. Pada acara High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI–RRC di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/4) Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pemerintah akan melakukan kerjasama dengan China untuk membuka lahan persawahan sebesar satu juta hektar di Kalimantan Tengah. Menteri Luhut menyampaikan telah meminta China untuk memberikan teknologi mereka dan China sudah bersedia.
Menanggapi hal ini, Dekan Fakultas Pertanian IPB, Suryo Wiyono menyampaikan bahwa wajar dilakukan alih teknologi, namun semuanya harus berbasis science. Jika tidak berbasis science, program tersebut tidak terjamin keberhasilannya. Contohnya dapat dilihat pada proyek food estate Jokowi yang akhirnya menanam jagung di polybag. Selain itu jika bicara teknologi, IPB juga telah mengembangan teknologi di beberapa daerah yang berhasil menaikan produksi padi hingga 32%.
Mengacu pada proyek food estate sebelumnya, pemerintah benar-benar harus mempertimbangkan pendapat para akademisi terkait proyek baru ini. Guru Besar IPB Dwi Andreas mengatakan bahwa lahan dengan luas satu juta hektar terlalu berisiko untuk langsung digarap, seratus juta hektar saja sudah luar biasa. Jika pemerintah bersikeras untuk melakukan proyek ini meskipun ada banyak akademisi yang memberikan masukan, patut untuk dipertanyakan untuk siapa sebenarnya proyek ini dilakukan? Apakah benar untuk melangsungkan swasembada pangan dan mengurangi impor beras? Atau proyek ini hanya kepentingan bisnis saja antara pemerintah dengan China?
Jika pemerintah melakukan proyek ini untuk rakyat, kenapa tidak memperbaiki, meng-upgrade, dan memberikan pelatihan teknologi tersebut kepada petani yang sudah lama menanam padi, malah membuka lahan baru yang entah siapa yang akan menggarapnya? Banyak petani lokal yang mengalami kesulitan menggarap lahannya, bahkan berhenti menjadi petani karena tidak memiliki modal lagi untuk menanam di musim selanjutnya karena mengalami gagal panen.
Islam sebagai pedoman kehidupan, menyelesaikan persoalan pangan dari akar masalahnya. Tidak hanya ketahanan pangan, namun juga kedaulatan pangan. Islam memandang pertanian adalah persoalan strategis, sehingga negara bertanggungjawab penuh untuk membantu petani, baik dalam hal teknologi maupun modal. Jika diperlukan pembelajaran teknologi dari negara lain, negara Islam akan menjalin kerjasama dengan negara lain tersebut sesuai dengan aturan politik luar negeri Islam. Diantara aturan politik luar negeri Islam adalah tidak boleh menjalin kerjasama dengan negara kafir harbi (yang membenci Islam secara terang-terangan), dan tidak boleh bergantung pada modal swasta atau asing.
[LM/nr]