Polemik Pajak THR , Para Pekerja Resah
Oleh : Diana Kamila
Mahasiswa STEI Hamfara
Lensa Media News–Ramadan adalah bulan yang paling dinantikan oleh umat Islam. Di dalamnya terdapat berbagai macam keistimewaan, mulai dari puasa sampai malam Lailatul Qadar. Selain itu, ternyata ada hal yang membuat bulan Ramadan menjadi bulan yang paling ditunggu-tunggu, terutama bagi para pekerja menjelang hari raya. Yap, hal itu adalah Tunjangan Hari Raya atau yang disingkat dengan THR.
THR adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerja menjelang Hari Raya Idul Fitri. Tapi sayangngnya THR tahun ini cukup berbeda dengan THR pada tahun-tahun sebelumnya. Ada apa ya?
Potongan THR Membengkak
Publik dikejutkan dengan skema baru perhitungan dan pemungutan pajak penghasilan (PPh) yang diterapkan sejak Januari kemarin. Pasalnya PPh pasal 21 pada bulan diterimanya THR akan dihitung menggunakan mekanisme tarif efektif rata-rata (TER).
Dikutip dari laman Tirto.id, dinyatakan bahwa dengan menggunakan metode perhitungan PPh pasal 21 setelah TER akan memotong THR lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Sebab PPh 21 dihitung berdasarkan penghasilan teratur yang disetahunkan dan penghasilan tidak teratur yang tidak disetahunkan. Jadi basis perhitungan PPh 21 mengacu pada penghasilan bruto bulanan. Tarif TER menggunakan asumsi bahwa bruto tersebut disetahunkan.
Tentu hal ini menjadi kabar buruk bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, perencanaan dana yang sudah diatur sedemikian rupa harus ditata ulang akibat potongan pajak yang membengkak. Terlebih lagi pada momen mudik ini.
Pemerintah berasalan penggunaan skema TER bertujuan mempermudah perhitungan PPh pasal 21. Skema baru ini juga diklaim memudahkan perusahaan menghitung dan memotong pajak penghasilan karyawan. Namun hal ini dibantah oleh para praktisi (seperti konsultan pajak) bahwa ‘simplifikasi’ ini tidak benar-benar membantu mereka, justru hanya menambah kerjaan baru.
Lahir dari Watak Suram kapitalisme
Inilah wajah hitam sistem kapitalisme. Dimana segala cara diupayakan untuk mendapatkan materi sebesar-besarnya, meskipun harus memeras uang rakyatnya sendiri. Pajak justru dijadikan sebagai pemasukan utama negara. Dikutip dari databoks, pada tahun 2023 pendapatan negara Indonesia dari penerimaan pajak mencapai nilai Rp.2.155,4 triliun. Nilai ini bahkan lebih besar dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yakni senilai Rp.605,9 triliun dan hibah senilai Rp.13 triliun.
Harus dipertanyakan, bagaimana mungkin Indonesia dengan julukan zamrud khatulistiwa, yakni negara dengan kekayaan alam yang melimpah ruah malah menggantungkan pemasukan negara dari pajak. Kekayaan alam yang begitu banyak malah dikapitalisasi sesuai kepentingan pemilik modal.
Terlebih lagi, pajak yang tinggi bukannya dialokasikan untuk pembangunan dan pelayanan publik, tetapi digunakan untuk menutupi utang negara yang kian lama kian menumpuk. Buktinya, layanan publik seperti layanan kesehatan dan pendidikan makin mahal. Sekedar untuk menikmati hasil pembangunan infrastruktur seperti kereta cepat, jalan tol dan lain sebagainya rakyat harus merogoh kantong dalam-dalam.
Kebijakan Pajak dalam Islam
Dalam sistem Islam, pajak akan tetap ada, namun dalam penerapannya berbeda dengan sistem kapitalisme. Jika di sistem kapitalisme, pajak dibebankan kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali. Pajak dalam Islam hanya dipungut dari kaum muslim yang mampu, yakni setelah mereka memenuhi kewajiban tanggungannya dengan cara yang lazim.
Selain itu, pajak tidak selalu dipungut setiap tahunnya, melainkan dipungut disaat-saat tertentu saja, yakni saat dana di Baitul Mal kosong, sedangkan negara membutuhkan anggaran untuk kepentingan yang diwajibkan oleh syara’.
Istimewanya lagi, jumlah pajak yang diambil dari rakyat sesuai dengan yang dibutuhkan negara saat itu. Dengan demikian, jika jumlah kebutuhan sudah mencukupi, maka negara wajib menutup keran pajak.
Mengenai pemasukan negara, Islam juga memiliki mekanisme yang berbeda. Sumber tetap pemasukan negara Islam di Baitulmal diantaranya: fa’i, jizyah, kharaj, seperlima harta rikaz dan zakat. Seluruh pemasukan ini dipungut secara tetap, baik diperlukan atau tidak.
Kesimpulan
Islam sangat memperhatikan hak setiap rakyatnya. Karena pemimpin dalam Islam sadar, kezaliman sekecil apapun kelak di akhirat pasti ada sanksinya. Memungut pajak pada THR tentu merupakan kezaliman yang disengaja. Karena itu bukan harta yang halal diambil dari rakyat oleh negara.
Pemenuhan kebutuhan masing-masing individu di bawah naungan negara Islam sangat diperhatikan. Negara hadir sebagai penjamin terpenuhinya kebutuhan per individu secara sempurna, baik itu kebutuhan primer maupun sekunder. Wallahu A’lam Bissawab. [LM/ry].