Kenaikan Indeks Pembangunan Gender, Bukti Sistem Kapitalis Keblinger

Oleh: Sunarti

 

LenSa MediaNews__”Bak jatuh tertimpa tangga” begitu nasib para perempuan di era kapitalis saat ini. Miris memang melihat fenomena yang menimpa kaum hawa saat ini. Padahal berbagai kebijakan telah ditempuh yang bertujuan untuk mengentaskan nasib nahas kaum ibu.

 

Sebut saja ukuran kenaikan indeks pemberdayaan perempuan dijadikan standar berdayanya perempuan. Seperti yang disampaikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Lenny N. Rosalin, menyatakan bahwa selama 2023, perempuan semakin berdaya yang ditujukan dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender. Lebih lanjut dikatakan jika perempuan berdaya akan menjadi landasan yang kuat dalam pembangunan bangsa. Keterwakilan perempuan dalam lini-lini penting dan sektoral juga ikut mendorong kesetaraan gender di Indonesia yang semakin setara (Antaranews).

 

Lantas, ketika ada kenaikan indeks pemberdayaan perempuan apakah ini jaminan berdayanya perempuan telah merubah nasib perempuan di era kapitalis ini? Jika kita lebih detail dalam menelisik persoalan perempuan, sebenarnya bukan terletak pada berdaya atau tidaknya perempuan. Apalagi dalam naungan sistem sekular-liberal, perempuan justru menjadi obyek kapitalisasi dengan dalih pemberdayaan diri dan tenaganya.

 

Mereka para perempuan cenderung diberdayakan guna memperbaiki perekonomian. Fakta menunjukkan jika nasib perempuan tak ubahnya dengan kondisi sebelum kesetaraan gender ini digaungkan. Bahkan dengan berbagai alasan membuat perempuan ini keluar dari kodratnya sebagai ibu dan pengatur urusan rumah tangganya, juga sebagai pendidik dan guru pertama bagi generasi penerus bangsa.

 

Berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, tingginya angka perceraian adalah bukti nyata arus kenaikan indeks pemberdayaan perempuan tak bisa dijadikan ukuran kenaikan kaum hawa ini.

 

Perlu diperhatikan jika sistem sekular-liberal saat ini telah salah memandang paradigma perempuan yang hanya sebagai komoditas produksi dan sebagai obyek kapitalisasi. Sehingga kesetaraan gender yang diusung diharapkan bisa mensejajarkan laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang sama tanpa memandang jenis kelamin maupun kekuatan fisik yang berbeda yang alami dimiliki oleh mereka berdua (laki-laki dan perempuan).

 

Posisi perempuan dalam alam kapitalis memang jauh berbeda dengan perempuan di dalam pandangan Islam. Karena Islam memiliki berbagai mekanisme untuk menjadika perempuan sejahtera dan tetap terjaga fitrahnya. Misalnya saja, sesuai fitrahnya perempuan ditempat di rumah guna mengatur urusan rumah tangganya dengan segala tanggung jawab terhadap suami dan anak-anaknya beserta harta bendanya.

 

Kaum laki-laki diberikan posisi sebagai pelindung dan pengayom juga sebagai sosok yang memiliki kewajiban untuk memenuhi nafkah bagi perempuan dan juga anak-anaknya. Juga sebagai pemimpin dalam rumah tangganya dan bertanggung jawab atas segala yang ada dalam biduk rumah tangganya.

 

Dalam Islam posisi perempuan di hadapan Allah dipandang sama dalam hal keimanan dan ketakwaan, bukan dibedakan soal jenis kelamin. Maka Allah menentukan hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan kodratnya.

 

Tentu saja, semua ini didukung dengan adanya sistem perekonomian, sistem pergaulan, sistem pendidikan, juga sistem yang lain, yang kondusif agar segala hak maupun kewajiban laki-laki dan perempuan dapat terlaksana dengan baik. Dan semua tidak bisa dilaksanakan dalam sistem sekular-liberal yang telah nyata menjadi penyebab kerusakan individu dan masyarakat dalam perjalanan hidupnya. Wallahu a’lam bishshawab

Please follow and like us:

Tentang Penulis