Kebijakan Aneh Jadi Solusi Nyeleneh
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Member Revowriter)
LenSaMediaNews– Sudah masyur isi hadist berikut : “Al-muslimûna syurakâ`un fî tsalâtsin: fî al-kalâ`i wa al-mâ`i wa an-nâri”.
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Namun masih banyak dari kaum muslimin yang hari ini belum memahaminya, terutama para pemangku kebijakan.
Seperti dilansir oleh Fokus Metro Sulbar, Pemprov Sulbar telah membentuk tim khusus bekerja sama dengan pihak Pertamina untuk melakukan sosialisasi aturan baru bagi aparatur sipil negara (ASN) di wilayahnya sekaligus memperingatkan bagi ASN yang masih melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi berdasarkan kesepakatan bersama, salah satunya penurunan pangkat. Hal ini karena pemerintah menilai, kebijakan sebelumnya tidak tepat sasaran. Dimana tabung gas 3 kg yang seharusnya untuk warga bersubsidi, pada faktanya dipakai justru oleh semua orang termasuk ASN. Padahal jatah mereka adalah tabung dengan ukuran 5,5kg.
Dengan kata lain diberlakukannya aturan tersebut bagi ASN, karena memastikan jangan ada ASN yang “merampas” hak warga negara yang bersubsidi. Dan setiap pelanggaran akan berdampak buruk bagi jabatan dan pemasukannya (fokusmetrosulbar, 19/6/2019). Sebuah kebijakan aneh yang kemudian dijadikan solusi, jelas nyeleneh (tidak masuk akal). Padahal jika dikembalikan pada makna hadist diatas, menurut Imam as-Sarakhsyi di dalam al-Mabsûth menjelaskan bahwa di dalam hadits-hadits ini terdapat penetapan berserikatnya manusia baik muslim maupun kafir dalam ketiga hal itu. Bahkan baik ASN ataupun rakyat biasa.
Hadits tersebut menggunakan bentuk isim jamid, dan isim tidak memiliki mafhum. Maka dari hadits itu sendiri tidak bisa ditarik mafhum ataupun illat. Sehingga terkesan bahwa berserikatnya manusia dalam ketiga hal itu karena zatnya, artinya manusia berserikat dalam sembarang air, padang rumput dan api. Namun jika dikaji lebih jauh dalam masalah ini, ternyata Rasulullah SAW membolehkan sumur di Thaif dan Khaibar dimiliki oleh individu untuk menyirami kebun. Seandainya berserikatnya manusia itu karena zatnya, tentu Rasulullah SAW tidak akan membolehkan air sumur itu dimiliki oleh individu.
Dapat diperjelas, berserikatnya manusia dalam ketiga hal (air, api, padang rumput) pada hadits di atas bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak (komunitas) dan jika tidak ada maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya. Artinya berserikatnya manusia itu karena posisi air, padang rumput dan api sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh suatu komunitas atau masyarakat. Sifat ini merupakan ‘illat istinbâthan dari perserikatan manusia dalam ketiga hal itu.
Artinya sesuatu itu merupakan milik umum di mana manusia berserikat dalam memilikinya. Sesuatu itu tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu, beberapa individu ataupun negara sekalipun. Individu, sekelompok individu atau negara tidak boleh menghalangi individu atau masyarakat umum memanfaatkannya, sebab harta semacam ketiganya itu adalah milik mereka secara berserikat.
Dalam hal ini barang yang dimaksud menjadi milik umum adalah gas. Baik ASN atau rakyat biasa, pejabat, qadhi, guru, petani dan apapun profesinya punya hak yang sama untuk menggunakan fasilitas umum tersebut. Karena memang hari ini gas sudah menjadi kebutuhan pokok setiap keluarga, menggantikan kayu dan minyak tanah yang hari ini sudah semakin langka. Jika kemudian dibuat kelas-kelas maka bisa dipastikan inilah solusi tambal sulam ala demokrasi.
Sebuah sistem yang mengagungkan kebebasan memiliki sebagaimana mereka juga mengagungkan kebebasan berpendapat, berprilaku dan beragama. Karena memang landasan asas sistem ini adalah sekulerisme. Pemisahan dari kehidupan. Maka jadilah, sebuah kesalahan penerapan kekayaan alam, hanya terletak di tangan individu bermodal besar yang mampu mengatur distribusi kemanapun dengan harga berapapun.
Maka terjadilah sebuah ketimpangan, yang kemudian berakibat kesengsaraan akibat kriminal merajalela dan kesejahteraan menguap. Yang miskin tetap miskin yang kaya bertambah kaya. Padahal, jika dikembalikan pada pengaturan Allah sang pemilik alam semesta, semua kesulitan akan segera terpecahkan. Bukankah Allah yang menciptakan sumber daya alam itu dan mengijinkan manusia memanfaatkannya.
Tidak ada hal yang lebih utama ketika kita menginginkan keadilan ekonomi dan terwujudnya kesejahteraan kecuali dengan mengganti aturan yang salah yang berasal dari benak rakus segelintir kapitalis dan korporit dengan aturan dari Yang Maha Kaya lagi Maha Bijaksana. Yang tak menginginkan apapun dari manusia kecuali kebaikan itu sendiri yang kembali kepada manusia. Dan negara mewakili masyarakat mengatur pengelolaan dan pemanfaatannya.
Wallahu a’lam biashowab.
(LN/Fa)