Pembangunan PLTU Suralaya Demi Siapa?
Pembangunan PLTU Suralaya Demi Siapa?
Oleh : Asha Tridayana, S. T.
LenSaMediaNews.com – Salah satu sumber pemasok listrik di negara ini berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Di Banten, terdapat PLTU Suralaya yang merupakan PLTU terbesar di Asia Tenggara dengan 8 unit pembangkit yang beroperasi. Ekspansi 2 unit baru akan dilakukan dan diperkirakan terjadi pemanasan iklim akibat pelepasan 250 juta ton karbondioksida. Kelompok pemerhati lingkungan hidup pun mengajukan protes secara resmi kepada Bank Dunia karena dukungannya terhadap proyek tersebut melalui anak perusahaannya, International Financial Corporation (IFC) yang berinvestasi di Hana Bank Indonesia.
Sebelumnya, IFC berjanji untuk menghentikan investasinya di sektor batu bara pada 2020, tetapi IFC masih menjadi pemegang sahamnya. Menurut Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) di Helsinki, dampak yang ditimbulkan dari penggunaan bahan bakar fosil sangat signifikan terhadap kualitas udara di wilayah tersebut dan menjadi penyumbang kabut asap di Jakarta hingga menjadi kota paling tercemar di dunia pada Agustus 2023. (https://www.voaindonesia.com 14/09/23)
Masyarakat Banten bersama PENA Masyarakat, Trend Asia serta Inclusive Development International dan Recourse juga mengajukan tuntutan agar perluasan PLTU Suralaya dihentikan dan kompensasi yang adil atas penggusuran warga. Penambahan 2 unit PLTU ini mencapai 2.000 MW atau hampir setengah dari 8 unit yang telah ada. Ini jelas memperparah iklim, kesehatan dan lingkungan yang sudah buruk di Banten, seperti yang diungkapkan oleh Mad Haer Effendi, Direktur PENA Masyarakat. Pembangunan PLTU tidak memberi manfaat bagi masyarakat, justru penghancuran pantai berdampak serius pada sektor pariwisata dan bisnis lokal.
Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia juga menegaskan tidak ada urgensi dalam pembangunan PLTU karena kebutuhan listrik di daerah tersebut telah terpenuhi dan jaringan listrik Jawa-Bali sudah kelebihan pasokan. Ekspansi PLTU berlawanan dengan upaya mencapai target net zero emission dan gagalnya target Perjanjian Paris. (https://trendasia.org 14/09/23)
Tidak dipungkiri jika pembangunan 2 unit baru PLTU Suralaya yang didukung Bank Dunia mendapat banyak protes dari berbagai pihak. Terlebih dari masyarakat setempat yang jelas merasakan langsung dampak dari polusi udara limbah batu bara. Kondisi ini semakin parah dan tentu membahayakan kesehatan umat manusia. Ditambah adanya penggusuran warga untuk memuluskan pembangunan dengan kompensasi yang tidak semestinya.
Di sisi lain, ketersediaan listrik suatu negara sebagai kebutuhan dasar bagi masyarakat memang mesti dipenuhi, salah satunya melalui PLTU. Namun, faktanya ekspansi PLTU tidak bermanfaat bagi masyarakat. Karena jumlah unit yang ada telah mampu mencukupi kebutuhan listrik. Sehingga sangat mengherankan atas dukungan Bank Dunia terhadap IFC yang terus berinvestasi di Hana Bank Indonesia. Terlebih upaya tersebut tidak sejalan dengan kebijakan sosial dan lingkungan IFC yang memiliki program Pendekatan Ekuitas Hijau (Green Equity Approach).
Hal ini menunjukkan bahwa dukungan Bank Dunia tidak terlepas dari kebijakan pembangunan versi sistem kapitalisme. Sistem yang menjadikan keuntungan sebagai tujuan dan segala cara pun dapat ditempuh termasuk mengabaikan potensi resiko yang dapat mengancam keselamatan dan kesehatan masyarakat. Sehingga bukan hal mustahil bagi Bank Dunia untuk terus mendukung proyek ekspansi PLTU sekalipun muncul berbagai protes. Oleh karena terbukti tidak ada respon serius dalam menanggapi kerugian yang diderita masyarakat.
Maka dapat dikatakan sumber dari persoalan tersebut tidak lain akibat bercokolnya sistem kapitalisme di negeri ini. Sistem rusak yang akan terus merusak tatanan kehidupan selama sistem tersebut diterapkan. Satu-satunya upaya yang dapat menuntaskan masalah hanya dengan mencampakkannya dan beralih pada sistem sahih yang bersumber pada Allah SWT Maha Pencipta seluruh alam semesta.
Di dalam Islam, kebijakan pembangunan berorientasi untuk kemaslahatan dan kebaikan hidup manusia dalam menjalankam perannya sebagai hamba Allah swt. Sehingga senantiasa memperhitungkan faktor resiko dan kebutuhan umat, bukan hanya mencari keuntungan untuk sejumlah pihak. Disamping itu, kebijakan negara tidak boleh mendatangkan dharar dan zalim pada masyarakat. Apalagi sampai membahayakan nyawa serta merampas hak dan kepemilikan masyarakat.
Negara dalam naungan sistem Islam memiliki kewajiban untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Melalui mekanisme sistem yang saling bersinergi yang berlandaskan hukum syara‘, negara mampu mewujudkam maslahat dan menghindari mafsadat bagi umat. Sehingga sudah semestinya masyarakat kembali menegakkan Islam agar diterapkan di seluruh aspek kehidupan termasuk kebijakan dan aturan negara. Allah swt berfirman, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?.” (QS. Al Maidah : 50)
Wallahu’alam bishowab.