Menghilangkan Kerancuan Dalam Masalah Memerangi Hawa Nafsu (Jihadun Nafsi)
Oleh: M. Taufik NT
LenSaMediaNews– Sesungguhnya sudah menjadi sesuatu yang diketahui secara nyata, bahwasanya menegakkan khilafah dan mengangkat seorang khalifah untuk kaum muslimin hukum asalnya adalah fardu kifayah, akan tetapi jika kewajiban ini tidak dapat terealisir dengan aktivitas orang yang memperjuangkannya, maka kewajiban ini meluas hingga menjadi kewajiban setiap muslim, hal ini berlaku untuk setiap fardu kifayah.
Meskipun demikian, ada sebagian orang yang melarang/tidak menyukai melakukan aktivitas penegakan khilafah sebelum terpenuhinya beberapa perkara, yakni umat Islam harus memerangi (hawa nafsunya) sendiri. Oleh sebab itu, jika engkau menyeru mereka untuk sama-sama berjuang dalam hal ini, mereka akan menjawab: yang diwajibkan kepada kita pertama kali adalah memerangi (hawa nafsu) kita, memperbaiki diri dahulu, baru setelah itu kita beraktifitas untuk menegakkan khilafah.
Bagaimana kita menyikapi hal ini?
===
Sesungguhnya Rasulullah berkata:
الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ
“Seorang pejuang (Mujâhid) adalah orang yang berjuang memerangi hawa nafsunya sendiri” (HR Ahmad dan Tirmidzi dengan sanad shahih).
Oleh karena itu, memerangi hawa nafsu adalah perkara yang dituntut oleh syara untuk dilaksanakan. Oleh sebab itu, tidak seorangpun boleh menolak pemikiran ini. Karena ungkapan dan fikrah ini datang dari Rasulullah, yang harus ditolak adalah pemahaman keliru terhadap hadis tersebut, yang di atas pemahaman tadi dibangun hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum syara.
===
Dari sini maka wajib bagi kita memahami jihadun nafsi dengan berbagai bentuk pemahaman berikut:
Pertama, sesungguhnya jihadun nafsi dan perbaikan diri hanya dapat dilakukan dengan melakukan segala bentuk kefarduan dan meninggalkan segala yang diharamkan-Nya. Ini dari segi yang paling mendasar. Adapun untuk meraih derajat yang lebih tinggi adalah dengan melakukan yang mandub (sunah) dan meninggalkan yang makruh. Jika seorang muslim sudah melakukan hal yang pertama saja—yakni melaksanakan yang wajib dan meninggalkan yang haram saja—maka hal itu sudah mencukupi, dan ia merupakan orang yang beruntung, insya Allah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah
أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ دَخَلْتُ الْجَنَّةَ قَالَ تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ وَتُؤَدِّي الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومُ رَمَضَانَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا شَيْئًا أَبَدًا وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُ فَلَمَّا وَلَّى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا
Seorang lelaki kampung telah datang menghadap Rasulullah ﷺ lalu berkata: Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang memasukkan aku ke Surga. Rasulullah ﷺ bersabda: “Engkau hendaklah mengabdikan diri kepada Allah, jangan menyekutukannya dengan sesuatu, dirikanlah shalat yang difardukan dan keluarkanlah zakat yang diwajibkan serta berpuasa pada bulan Ramadan. Lalu orang itu berkata: Demi Allah yang berkuasa atas diriku, aku tidak akan menambah atau menguranginya sama sekali apa yang telah dijelaskan kepadaku. Setelah orang itu pergi Rasulullah ﷺ pun bersabda: Siapa yang ingin melihat ahli Syurga maka lihatlah lelaki ini” (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun jika seorang muslim mengerjakan dua perkara : melaksanakan yang wajib dan sunah serta meninggalkan yang haram dan makruh, maka sesungguhnya ia benar benar menjadi orang yang memerangi hawa nafsunya dan memperbaiki dirinya.
===
Kedua, sesunggunya nafsu itu cenderung kepada syahwat yang kadang kadang haram, serta membenci melaksanakan kewajiban yang sulit. Sabda Nabi :
حُجِبَتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
“Neraka tutupi dengan sesuatu yang disukai oleh hawa nafsu dan surga ditutupi dengan sesuatu yang dibenci hawa nafsu” (HR. Bukhori).
Dan Allah berfirman menyampaikan pernyataan istri Al Aziz yang menggoda Nabi Yusuf a.s:
إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
“Sesungguhnya nafsu itu senantiasa menyuruh berbuat keburukan” (Yusuf : 53).
Oleh karena itu, hendaklah kita memperhatikan hal ini dalam memerangi hawa nafsu. Di sini jihadun nafsi berarti kita mendorong dengan dorongan yang kuat dan memaksanya untuk melaksanakan perintah-perintah Allah, pada saat yang sama juga harus dikekang dari melaksanakan yang haram.
Oleh karena itu jihadun nafsi (memerangi hawa nafsu) adalah dengan cara tidak menuruti setiap ajakan hawa nafsu jika perintah dan larangan Allah tidak sesuai dengan keinginan tersebut, serta memaksanya dengan sepenuh kemampuan untuk melaksanakan segala ketaatan kepada Allah baik yang ringan dan terlebih yang berat/rumit yang nafsu tidak suka untuk melaksanakannya. Inilah yang bisa dikatakan sebagai memerangi hawa nafsu sehingga orang yang melaksanakannya akan mencapai derajat yang tinggi.
===
Ketiga, sesungguhnya di antara kewajiban yang dibebankan kepada seorang muslim -bahkan merupakan kewajiban terpenting- adalah aktivitas untuk menegakkan khilafah dengan pengerahan segenap potensi dan kemampuan.
Kewajiban ini terhitung sebagai kewajiban yang sangat agung dan besar-karena hanya dengan tegaknya khilafah maka sebagian besar hukum-hukum Islam baru dapat terlaksana, dan ketiadaannya menyebabkan kemaksiatan nyata-nyata berkembang pesat di masyarakat. Kewajiban ini juga terhitung sesuatu yang tidak disukai hawa nafsu karena rintangannya begitu besar, hawa nafsu senantiasa akan mencari alasan untuk mengelak dari kewajiban ini.
Oleh karena itu, untuk melaksanakan kewajiban penegakan khilafah ini juga diperlukan –bahkan sangat penting- adanya perang terhadap hawa nafsu, karena sekarang kita melihat sebagian besar kaum muslimin lari dari melaksanakan kewajiban ini dikarenakan ketiadaan perlawanan mereka terhadap hawa nafsu, tidak ada upaya untuk mengekang keliarannya, sehingga banyak yang terlena dengan mereguk kenikmatan dunia, tersibukkan dengan urusan dunia, sehingga mereka mengikuti hawa nafsunya dan menaati perintah syaithan seraya berpaling dari perintah Allah.
===
Dari sini maka tidak ada pertentangan antara memerangi hawa nafsu dan memperbaiki diri disatu pihak dengan aktivitas penegakan khilafah di pihak lain.
Adapun jika seorang muslim menolak perjuangan penegakan khilafah, atau menggampang-gampangkannya, atau mengakhir-akhirkannya, bermalas-malasan melaksanakannya dengan alasan memperbaiki diri lebih dahulu dan memerangi hawa nafsu, maka sesungguhnya ia tidaklah memerangi hawa nafsunya, tidak memperbaiki dirinya dan juga tidak mendidik dirinya.
Dan sesungguhnya yang dilakukannya hanyalah menghancurkan dirinya, yakni dengan menjatuhkan dirinya kepada sesuatu yang dimurkai dan dibenci Allah, yakni meremehkan kewajiban yg dibebankan di pundaknya, na’udzubillah. Hal ini karena seorang muslim jika meninggalkan dengan sengaja kewajibannya, atau meremehkannya maka tidaklah ia memperbaiki dan mendidik dirinya, mungkinkah memperbaiki diri dan berperang melawan hawa nafsu dengan jalan meninggalkan kefarduan atau meremehkannya ?
[Lm/Hw/Fa]
===
Sumber:
Menghilangkan Kerancuan Dalam Masalah Memerangi Hawa Nafsu (Jihadun Nafsi)