Kemiskinan Di Tanah Emas
Kemiskinan Di Tanah Emas
Oleh : Leora Andovita
LenSaMediaNews.com – “Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil yang jatuh ke bumi,” begitulah penggalan lirik dalam lagu yang dinyanyikan oleh Franky Sahilatua. Bukan tanpa alasan Papua disebut seperti itu. Pada abad ke-15, seorang pemimpin armada asal Spanyol bernama Alvaro de Savedra berlabuh di pantai utara Papua dan menyebutnya Isla del Oro atau Island of Gold. sejak saat itu bangsa Eropa berbondong-bondong datang untuk mencari emas. And so the story goes.
Berdasarkan laporan Kementerian ESDM, tanah di Papua mengandung 1,9 miliar ton cadangan bijih emas pada tahun 2020 dan menjadi peluang investasi emas-perak Indonesia yang bonafide untuk masa yang akan datang. Dengan begitu melimpahnya kekayaan alam di Papua dan tata kelola Sumber Daya Alam (SDA) yang baik, maka seharusnya masyarakat lokal akan bisa hidup dengan sejahtera.
Namun yang terjadi adalah, adanya ketidaksesuaian pola pengelolaan SDA sehingga menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Indeks pembangunan manusia yang meningkat pun tidak menunjukkan dampak signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan di Papua. Penduduk Papua masih mengalami kemiskinan.
Data statistik tahun 2010 menunjukkan, kontributor perekonomian dari sektor pertambangan dan penggalian sebesar 54% dan terus mengalami penurunan sampai tahun 2020. Bahkan pada tahun 2019 perekonomian di Papua menurun drastis sampai pada angka -15,75% karena dampak pandemi. Namun berbeda dengan pernyataan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden yang menyampaikan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir prioritas pembangunan di Papua mengalami banyak peningkatan, terutama penurunan angka kemiskinan. Klaim yang menyebutkan tingkat kemiskinan mengalami penurunan signifikan dari 28,17 persen di Maret 2010 di Papua menjadi 26,56 persen di 2022 sarat dilematik. Nyatanya, kemampuan ekonomi penduduk Papua masih di bawah ambang patokan angka tersebut.
Menurut sistem Kapitalisme, kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan memenuhi kebutuhan barang atau jasa. Negara-negara di Eropa atau Amerika Serikat misalnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sekundernya akan dianggap miskin. Akan tetapi bisa berbeda dengan poin kategori miskin di Palestina atau Iran. Akibatnya, standar kemiskinan tidak memiliki batasan-batasan yang tetap. Oleh karena pemenuhan kebutuhan berkembang sesuai zaman dan akan mempengaruhi mekanisme pemecahan masalah kemiskinan.
Sedangkan dalam Islam, Syekh An-Nabhani menyampaikan bahwa orang miskin adalah orang yang tidak memiliki harta (uang) dan penghasilan. Ini berarti bahwa Islam memandang taraf kemiskinan seseorang sebagai perkara yang sama dimanapun dan kapanpun orang itu berada.
Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim terbanyak di dunia dan sudah selayaknya sistem Islam yang diberlakukan. Islam memberikan begitu banyak solusi atas berbagai aspek kehidupan, termasuk kemiskinan. Pada masa pemerintahan Islam, kemiskinan diatasi secara terstruktur yaitu dengan memberlakukan kebijakan yang berlandaskan pro -poor growth, pro-poor budgeting, pro-poor infrastructure, pro-poor public services, pro-poor income distribution.
Kelima strategi ini menjadi panduan bagi program pengentasan kemiskinan sekaligus penciptaan lapangan kerja. Puncaknya adalah ketika masa pemerintahan Umar bin Khattab, yakni anggaran negara surplus dan tidak ada rakyat yang berhak menerima zakat. Kini, apakah sistem yang berlaku mampu mengentaskan kemiskinan di tanah Papua, surga kecil yang jatuh ke bumi?
Wallahu’alam bishowwab.