Pelanggaran Berat HAM oleh Negara, Wajah Buruk Demokrasi
Oleh : Cita Rida (Aktivis Dakwah)
Lensa Media News-Pada Rabu (15/03), Presiden Joko Widodo telah meneken Instruksi Presiden (Inpres) nomor 2 tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat. Inpres ini merupakan tindak lanjut setelah presiden pada tahun lalu membentuk tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu atau disebut Tim PPHAM. Di Inpres tersebut, Presiden memerintahkan 16 Menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI, dan Kapolri untuk melaksanakan belasan rekomendasi TPPHAM yang sebagian besar merinci bentuk-bentuk pemulihan kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Namun pegiat HAM, Wahyu Djafar, menilai Inpres ini seakan menempatkan korban sebagai penerima “bantuan sosial” saja, bukan korban pelanggaran HAM berat yang patut diberikan pemulihan. Menurut Wahyu, tim pelaksana rekomendasi penyelesaian nonyudisial semestinya mengidentifikasi terlebih dahulu permasalahan yang dihadapi tiap-tiap korban dari 12 kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Kemudian melakukan kajian atau penilaian atas permasalahan tersebut untuk menentukan bentuk pemulihan yang diberikan. Karena menurutnya, setiap korban punya persoalan sendiri yang tidak bisa digeneralisasi (bbc.com, 17/03/2023).
Janji yang Berulang-ulang
Bukan pertama kalinya Jokowi berjanji akan menyelesaikan permasalahan HAM berat masa lalu. Ia awalnya menyampaikan hal ini saat berkampanye Pemilihan Presiden untuk PEMILU 2014. Setahun kemudian tahun 2015, ia mengatakan akan membuat komite rekonsiliasi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Setahun berselang, Jokowi menjanjikan pelanggaran HAM masa lalu akan diselesaikan pada 2016. Kemudian tahun 2017, ia mengakui masih banyak pelanggaran hak asasi manusia yang belum bisa dituntaskan.
Janji yang sama kembali terulang pada Pidato Kenegaraan di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 16 Agustus 2018. Jokowi saat itu mengatakan dirinya berkomitmen untuk menyelesaikan pelanggaran HAM Berat masa lalu (katadata.co.id, 10/12/2020). Mengapa janji penuntasan pelanggaran HAM Berat senantiasa diulang-ulang tanpa dilakukan penyelesaian secara tuntas? Apakah semua janji penuntasan pelanggaran HAM sekadar pencitraan?
Pelanggaran HAM Berat = Keniscayaan dalam Sistem Kapitalisme
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam sistem kapitalisme adalah hal yang lumrah. Meski HAM adalah produk dari ideologi yang menguasai dunia saat ini, yaitu kapitalisme, tetapi pelanggaran HAM justru banyak terjadi akibat penerapan kapitalisme itu sendiri. Ideologi kapitalisme yang bersumber dari akidah sekulerisme (memisahkan agama dari kancah kehidupan) melahirkan pemimpin yang akan menghalalkan segala cara dalam meraih serta mempertahankan kekuasaan. Jika dalam meraih kekuasaan perlu melakukan pelanggaran HAM (penculikan dan pembunuhan aktivis, pembunuhan massal (genosida), dan lain-lain) maka tentu saja itu akan dilakukan. Sistem kapitalisme melahirkan pemimpin yang tidak takut kepada Allah Sang Penguasa Alam Semesta dan tidak takut pertanggungjawaban atas kepemimpinannya di akhirat kelak.
Pemimpin di dalam sistem kapitalisme yang memiliki mindset sibuk mengejar perolehan kekuasaan, menjadikannya mustahil untuk tulus mengurus persoalan kemanusiaan. Oleh karenanya, ketika kondisi ini terjadi di negeri kita, kita bisa melihat arahnya justru lebih kuat pada upaya pencitraan penguasa. Upaya ini juga sangat beralasan, terutama menjelang pesta politik akbar 2024.
HAM Menurut Islam
Islam, sebagai ideologi yang bersumber dari Sang Khalik, tentu saja memiliki seperangkat aturan yang sempurna. Penuntasan pelanggaran HAM menurut Islam jelas berbeda dengan mulut manis kapitalisme yang sejak awal kelahirannya selalu menimbulkan masalah, tidak terkecuali masalah pelanggaran HAM itu sendiri.
Islam melalui sistem pemerintahan Khilafah adalah pengayom umat, dan khalifah selaku kepala negaranya adalah pengurus seluruh urusan umat sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Jika terjadi kezaliman yang dilakukan baik oleh individu dari kalangan masyarakat maupun dari kalangan penguasa, sesungguhnya sistem Islam telah menyediakan seperangkat aturan berupa sistem sanksi yang tegas dan adil tanpa pandang bulu. Contoh jika seorang penguasa terbukti melakukan pencurian, maka jika telah memenuhi syarat hukum potong tangan, maka akan dilakukan potong tangan. Rasulullah SAW bersabda, “Demi jiwaku (Muhammad) yang berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR Bukhari-Muslim).
Jika seorang warga atau penguasa terbukti melakukan pembunuhan secara sengaja yang mengakibatkan hilangnya nyawa, maka ia terkena hukum qishosh. Apabila keluarga korban pembunuhan memaafkan pelaku pembunuhan, pelaku wajib membayar diyat setara 100 ekor unta, 50 diantaranya hamil, jika dirupiahkan setara 2 hingga 3 miliar rupiah. Wallahu a’lam bish-showab. [LM/VF/ry].