Daya Beli Rokok Masyarakat Semakin Meningkat

Oleh: Diani Ambarawati
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Lensa Media News – Lebih mengutamakan rokok, padahal merokok akan merugikan si perokok dan yang tidak merokok. Malah menguntungkan produsen rokok dan sedikit untung penjual rokok.
Rokok berkontribusi besar untuk penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang mencapai 97 persen dari total penerimaan cukai. Dilansir dari CNN Indonesia, “Dampak inflasi dari kenaikan cukai ini dapat terkelola dengan baik dan tenaga kerja dari industri hasil tembakau (IHT) tetap mengalami kenaikan dari 152 ribu ke 209 ribu,” kenaikan tarif cukai rokok rata-rata 10 persen untuk 2023 dan 2024 kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (12/12/2022). Namun tidak membuat perusahan tembakau makin surut, malah semakin eksis.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rokok menduduki peringkat kedua tertinggi pengeluaran rumah tangga Indonesia (12,21% masyarakat perkotaan dan 11,63% masyarakat pedesaan). Lebih dari 12 persen pendapatan masyarakat menengah ke bawah, digunakan untuk membeli rokok. Angka ini, tiga kali lebih besar dari pengeluaran telur hingga daging ayam.
Watak kapitalis dengan sifatnya sekularis, dimana untung-ruginya hanya materi semata, menjadikan pangsa pasar tembakau lahan menambah devisa negara. Tidak peduli dengan dampak negatif dari perokok aktif dan pasif. Terlebih asap rokok yang menjadi salah satu penyebab gangguan pernapasan akut bahkan menjadi penyakit yang membahayakan seperti TBC, radang paru-paru, bronchitis, pneumonia, bahkan kanker paru-paru dan organ lainnya yang menyasar orang tua, anak-anak, bahkan ibu hamil.
Terlepas dari kontroversi makruh atau haram, para dokter sepakat bahwa rokok adalah benda buruk bagi kesehatan, baik yang menghisap maupun yang menghirup sisa asapnya. Firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian dengan tangan kalian sendiri ke dalam jurang kerusakan.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Dalam hadis dikatakan, “Salah satu tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak penting baginya.” (HR. Tirmidzi)
Dalam sistem Islam, benar-salahnya perbuatan manusia dikembalikan kepada syariat Islam yang pedomannya Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika perbuatan itu akan merugikan diri, keluarga, masyarakat, bahkan negara, maka Islam tegas dalam hal ini yakni melarang apa pun yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Semua permasalahan sistemik akan berakibat sistemik juga. Kembali kepada sistem yang menerapkan aturan yang haq dan membuang yang bathil. Karena semua yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban.
Kebaikan akan tercipta dari diterapkannya Islam. Seorang khalifah menerapkan aturan hukum secara menyeluruh, mengurus rakyatnya dari perkara yang makruh jika itu membahayakan apalagi perkara yang haram pastilah ditiadakan. Masih berharapkah pada sistem yang melanggengkan perkara yang haram dan meniadakan amar ma’ruf nahi munkar?
Allahu a’lam bishshawab.
[LM/Ah]
Please follow and like us:

Tentang Penulis