Salah Arah Digitalisasi, Ciptakan Bekunya Generasi

Oleh: Yuke Octavianty

(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)

Lensa Media News – Zaman digital identik dengan modernitas. Seperti yang kini terjadi. Segala informasi dapat dengan mudahnya diakses dari genggaman. Segala aktivitas pun sebagian besar dilakukan secara “online” (dalam jaringan). Mulai dari aktivitas sekolah, kantor, belanja, dan berbagai aktivitas lain.

Namun, dengan meningkatnya teknologi, meningkat pula kejahatan dalam jaringan. Misalnya kejahatan seksual yang diawali dengan perkenalan di media sosial, atau sejenisnya. Beragam tragedi pun terjadi. Komisioner Komnas Perempuan, Mariah Ulfah Anshor, menyatakan Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) meningkat sebesar 920% di masa pandemi, dibandingkan kasus yang terjadi tahun 2019 (antaranews.com, 23/7/2021). Mariah juga mengungkapkan peningkatan kasus tersebut disebabkan karena adanya peralihan aktivitas masyarakat menjadi aktivitas dalam jaringan. Maraknya aktivitas online ini pun, mendorong timbulnya kekerasan berbasis gender dalam jaringan. Khususnya terjadi pada wanita dan anak-anak.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat data kekerasan seksual terhadap anak di satuan pendidikan dari 2 Januari hingga 27 Desember 2021 sebanyak 18 kasus. Pemantauan kasus berdasarkan laporan keluarga korban ke pihak kepolisan dan pemberitaan oleh media massa (sindonews.com, 31/12/2021).

Segala kemudahan yang disajikan dunia digital tetap harus diwaspadai dampak buruknya dalam kehidupan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebut, perempuan dan anak-anak harus diberikan pemahaman literasi digital yang memadai. Sebab, perempuan yang memiliki literasi digital mampu melindungi diri mereka sendiri. Ke depan, saat menjadi seorang ibu, mereka bisa melindungi anak-anak mereka dari bahaya internet (sindonews.com, 31/12/2021).

Direktur IMuNe (Institut Muslimah Negarawan), Dr. Fika Komara, menyebutkan bahwa industrialisasi budaya fahisyah (keji) dan masifnya media informasi seksual di masyarakat. Berita keji masif tersaji di muka publik. Tentu saja, hal ini merupakan sasaran empuk para pebisnis media, yang menyulap bad news menjadi sajian menarik bagi khalayak. Inilah potret peran media yang merusak kehidupan dalam masyarakat. Rangsangan informasi dikendalikan korporasi. Sehingga menjadi sangat wajar, yang terjadi adalah kerusakan generasi. Generasi yang membeku dalam rusaknya sistem.

Kehidupan yang kian jauh dari aturan agama (baca: sekularisme) secara nyata mempengaruhi kehidupan manusia. Manusia hanya memandang faktor sebab akibat serta manfaatnya dari aspek pandangan manusia. Gaya hidup hedonis dan liberal pun menjadi penyumbang terbesar kekacauan yang kini terjadi. Kombinasi inilah yang melahirkan insan yang jauh dari iman dan takwa pada Sang Pencipta, Allah Azza wa Jalla.

Syariat Islam mengatur setiap inci kehidupan dengan sempurna. Dalam Islam, penyiaran di filter langsung oleh Departemen Penerangan Daulah Islam. Semua siaran harus mengantongi izin penyiaran dengan syarat dan ketentuan khusus yang berlaku. Disesuaikan dengan ajaran Islam sebagai dasar kehidupan. Pemberitaan keji dan tak senonoh tak disebarkan begitu saja. Karena dikhawatirkan dapat memantik tragedi dengan pola yang sama di tempat lain. Negara sangat berperan dalam menjaga kemurnian akidah rakyatnya.

Sungguh, demikianlah kewajiban negara. Menjadi penjaga bagi umatnya. Inilah yang disebut dengan perisai digital yang melindungi seluruh umat. Perisai digital dapat terwujud jika syariat Islam diterapkan sempurna. Dalam wadah Khilafah manhaj An Nubuwwah. Tak sekadar aturan manusia yang tambal sulam.

Wallahu a’lam bisshowwab.

[hw/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis