PT Sritex: Korban Kebijakan Serampangan oleh Negara

Oleh : Adrina Nadhirah
LenSa Media News _ Opini _ Pada 26 Februari 2025, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal terhadap 8.504 karyawan di pabrik Sukoharjo. Dan ini sebagai bagian dari total 10.669 karyawan yang terkena dampak kebijakan ekonomi karut marut oleh negara (CNN INDONESIA). Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, mengingat Sritex adalah salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Meskipun manajemen perusahaan menyebutkan penurunan permintaan global sebagai penyebab utama, tidak dapat diabaikan bahwa kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan ugal-ugalan turut memperburuk kondisi industri tekstil nasional.
Salah satu kebijakan yang mempengaruhi industri tekstil adalah perjanjian perdagangan bebas yang kurang memperhatikan daya saing industri dalam negeri. Antara lain adalah regulasi yang terbit dari kemitraan yang terjalin antara negara-negara anggota ASEAN dengan Cina melalui ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang ditandatangani pada 12 November 2017. Kesepakatan tersebut bertujuan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang. Akibatnya, produk tekstil impor yang lebih murah membanjiri pasar domestik, membuat perusahaan lokal, seperti Sritex, kesulitan bersaing. Selain itu, kebijakan perpajakan yang tidak fleksibel dan tingginya biaya produksi semakin menekan industri tekstil.
Undang-Undang Cipta Kerja yang diharapkan dapat meningkatkan investasi justru mempermudah proses PHK dan melemahkan perlindungan terhadap pekerja. Ketidakjelasan regulasi dan minimnya insentif bagi industri padat karya menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap sektor yang menyerap banyak tenaga kerja ini.
Dalam perspektif ekonomi Islam, negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan rakyat dan melindungi hak-hak pekerja. Islam menekankan keadilan dalam hubungan kerja dan melarang eksploitasi tenaga kerja.
Tidak ada unsur penindasan dan keterpaksaan diantara majikan dan pekerja seperti mana dalam Al-Quran yang menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah segala perjanjian” (Al-Ma’idah (5): 1).
Ini menegaskan prinsip bahwa upah harus sesuai dengan perjanjian kerja, dan majikan memiliki kewajiban moral untuk memenuhi kewajiban ini. Sayangnya, liberalisasi pasar bebas dalam sistem kapitalisme hari ini akhirnya menimbulkan banyak permasalahan besar yang menjadi kekhawatiran masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kasus PHK massal di PT Sritex mencerminkan dampak kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada industri lokal dan pekerja.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara berperan aktif dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang stabil, mengelola sumber daya secara adil, dan memastikan kebijakan yang dibuat tidak merugikan pihak manapun. Kesemuanya diambil dari Al-Quran dan Hadits yang datang dari pencipta manusia dan alam semesta. Islam memposisikan rakyat sebagai tanggung jawab negara.
Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Sistem Islam yakni Khilafah bakal menjamin terbukanya lapangan pekerjaan yang luas dan memadai dengan berbagai mekanisme sesuai syariat islam.
Sistem ekonomi Islam membagi kepemilikan harta menjadi individu, umum, dan negara. Harta milik umum dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. Islam melarang pengelolaan harta milik umum oleh individu atau swasta. Negara didorong membangun industri strategis, terutama industri permesinan, untuk mendorong lapangan kerja dan keterampilan masyarakat. Politik perindustrian dalam Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan umat di dunia dan akhirat, termasuk membangun industri yang mendukung perlindungan jiwa, akal, agama, dan kehidupan sosial. Pembangunan industri harus didasarkan pada kemandirian dan tidak boleh bergantung pada pihak kafir, baik dalam teknologi, ekonomi, maupun politik.
Negara juga bertanggung jawab menyediakan pekerjaan bagi individu, terutama laki-laki sebagai penanggung nafkah. Jika seseorang tidak mampu bekerja atau tidak memiliki penanggung nafkah, maka negara melalui Baitul mal wajib menanggung kebutuhannya, termasuk melalui zakat (Buku karangan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani: An-Nizham al-Iqtishadiy fil Islam, hlm. 253).
Selain itu, kebijakan politik luar negeri Khilafah tetap menempatkan negara sebagai pelayan rakyat. Negara mengatur dan mengarahkan perdagangan luar negeri, termasuk hubungan antar-individu dan ekonomi, di bawah kekuasaannya. Hal ini untuk memastikan persaingan antara industri dalam negeri dan produk impor dapat berjalan secara sehat (Buku karangan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani: An-Nizham al-Iqtishadiy fil Islam, hlm. 692).
Wallahu a’alm bissawab
(LM/SN)