Membongkar Hubungan Gelap Paylater dengan Arus Konsumerisme

Oleh: Shafayasmin Salsabila
MIMم_Muslimah Indramayu Menulis
LenSaMediaNews.com__Di tengah anjloknya daya beli masyarakat, arus konsumerisme tetap menderas. Tak ayal, korbannya kebanyakan dari kalangan Gen Z dan milenial. Sebab, di era digital seperti saat ini, berbelanja bisa dilakukan lewat daring. Apalagi dengan kehadiran layanan keuangan semisal paylater.
Si Seksi, Paylater
Paylater merupakan fitur yang ditawarkan oleh e-commerce atau platform pembayaran digital, seperti Shopee PayLater, Gojek PayLater, atau Traveloka PayLater. Fitur ini memungkinkan pengguna untuk membeli barang atau jasa dan membayar di kemudian hari, baik dalam bentuk cicilan atau dengan batas waktu tertentu. Sehingga paylater dianggap sebagai angin segar, bagi pembeli yang berhasrat pada satu barang atau jasa, namun pada saat itu tak memiliki cukup uang.
Sejatinya paylater ini semacam pinjaman jangka pendek. Nantinya penyedia paylater menalangi pembayaran ke penjual, dan pengguna akan membayar tagihan sesuai dengan jangka waktu jatuh tempo yang disepakati. Jika dipikirkan secara mendalam, paylater patut diwaspadai sebab dapat memuluskan dan menimbulkan shopaholic, juga berpotensi menjerat.
Bahaya Laten
Dilansir dari liputan6.com pada 11-04-2025, catatan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total utang masyarakat Indonesia sepanjang Februari 2025 lewat layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih akrab disebut PayLater di sektor perbankan menyentuh angka Rp 21,98 triliun. Angka ini mengalami peningkatan secara tahunan, sebesar 36.60 persen.
Utang yang dimaksud sebenarnya dalam rangka membayar barang yang telah dibeli lewat marketplace, dengan cara dicicil. Jatuh temponya bisa tiga, enam sampai 12 bulan sesuai kesepakatan. Dengan kemudahan seperti itu, ditambah dengan berbagai promo menarik, nafsu berbelanja pun semakin tersulut. Akhirnya, sasaran di keranjang orange bukan hanya item yang benar-benar dibutuhkan, tapi merambah pada barang-barang sekunder atau tersier berbasis keinginan. Tak sadar menjadi boros, terjebak konsumerisme, tersibukkan dalam aktivitas berbelanja, bahkan kebablasan sehingga menumpuk utang dengan nominal besar.
Selain itu, di dalam paylater, kental dengan aroma ribawi. Baik dalam bentuk persentase bunga, juga denda. Ditambah lagi kebatilan dalam hal biaya admin berupa persentase dari nilai transaksi. Semestinya ditetapkan dengan nominal yang jelas, misalnya Rp5000 per transaksi. Sebab biaya pelayanan atau administrasi, termasuk akad ijarah. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah di dalam kitabnya, Nizhâmu al-Iqtishâdiyi fî al-Islam, hlm. 90, menyampaikan bahwa cara penetapan penetapan ujrah (upah) dalam transaksi ijarah, wajib berupa jumlah nominal yang jelas (ma’lum), bukan berupa persentase tertentu dari nilai transaksi.
Konsumerisme dan Remnya
Paylater berpotensi makin menumbuhsuburkan konsumerisme. Masyarakat terutama anak-anak muda menjadi gandrung dengan gaya hidup konsumtif. Mereka terus menerus membeli barang dan jasa, tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang sebenarnya, melainkan didorong oleh keinginan, gengsi, atau tekanan sosial.
Tentu tabiat seperti ini sudah keluar dari garis batas yang Islami. Sebab nafas dari konsumerisme berasal dari pandangan hidup kapitalisme, di mana kebahagian diukur dengan standar materi. Hawa nafsu dibiarkan menggelora dan menggila. Padahal Allah sudah mengingatkan tentang godaan syahwat, di dalam surat Ali-Imran ayat 14: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Maka Islam mengajarkan kepada setiap pemeluknya mengendalikan syahwatnya. Tiadalah kebahagian hakiki kecuali meraih keridaan Allah. Pernak pernik dunia manisnya sesaat, namun hisabnya panjang. Apalagi jika diperoleh dengan jalan keharaman, seperti bersentuhan dengan riba. Masih banyak hal lain yang menuntut perhatian, seperti soal dakwah.
Islam juga mengajarkan pentingnya qona’ah, yakni konsep dalam Islam yang berarti sikap menerima dan merasa cukup dengan apa yang telah Allah berikan, tanpa berlebihan dalam ambisi duniawi. Melihat dan mengambil dunia seperlunya saja, sekadar alat untuk menyempurnakan ibadah kepada Allah SWT. Bukankan atas tujuan itulah, Allah SWT menciptakan manusia.
Dan tentunya serangkaian konsep indah dalam Islam ini, akan dapat diejawantahkan secara serempak dan langgeng, jika dikondisikan oleh negara. Sebagai support system paling efektif, yang mampu membendung arus konsumerisme. Negara dengan visi akhirat, akan setia menjaga perilaku takwa warganya, dan melindunginya dari pandangan hidup yang keliru, dan berujung pada kebinasaan. Wallahualam bissawab [LM/Ss]