Kesiapan Kaum Muslim terhadap Seruan Jihad
Oleh Lulu Nugroho
Lensamedianews.com__ Palestina meregang nyawa. Dunia menyaksikannya dan terus berunjuk rasa mendorong pemerintah mereka masing-masing untuk mengakhiri kezaliman. Namun hari demi hari berlalu, tanpa ada satupun pemimpin dunia menggerakkan pasukannya. Sekat nasionalisme terbukti ampuh merusak ikatan akidah dan melanggengkan eksistensi entitas Zionis.
Sejumlah ulama terkemuka di dunia mengeluarkan fatwa langka yang mendesak seluruh umat Islam dan negara mayoritas muslim melakukan jihad melawan agresi militer entitas Zionis. Sekretaris Jenderal Persatuan Ulama Muslim Internasional (IUMS), Ali Al-Qaradaghi, pada Jumat (4/4) meminta umat Islam di seluruh dunia untuk segera turun tangan secara militer, ekonomi, dan politik guna menghentikan genosida yang tengah dilancarkan Israel di Jalur Gaza, Palestina. (Cnnindonesia, 8-4-2025)
Namun hal tersebut tidak mendapat respon baik. Kaum muslim menanggapinya beragam. Salah satunya adalah Mufti Agung Mesir Nazir Ayyad menolak fatwa dari persatuan ulama dunia (International Union of Muslim Scholars/IUMS). Bahkan Ayyad menganggap fatwa IUMS tersebut, sama sekali tidak bertanggung jawab.
Begitu pula halnya dengan seorang ulama Salafi terkemuka pro-pemerintah Mesir, Yasser Burhami, pada pekan ini menolak fatwa jihad Persatuan Cendikiawan Muslim Internasional (IUMS) untuk melawan Israel. Burhami mengatakan bahwa fatwa itu tidak realistis dan bertentangan dengan perjanjian damai Mesir tahun 1979 dengan Israel, lapor Middle East Eye. (Republika.co.id, 10-4-2025)
Ada Apa dengan Umat ini?
Meski hanya sebagian ulama yang menyatakan penolakannya dengan jawaban yang diplomatis, akan tetapi ulama lainnya pun tak terdengar suaranya. Bisa jadi karena media memang meredamnya, atau mereka gamang karena memahami bahwasanya perlu sebuah institusi negara yang menopang pasukan jihad. Sebab sejatinya seruan jihad para ulama tersebut, perlu negara yang menjalankan dengan kekuatan pasukan militer dan persenjataan.
Jika saat ini jihad dikerahkan, negara mana yang akan memimpinnya? Sementara negeri-negeri muslim yang ada, tak satupun yang bertaji menghadapi entitas Yahudi yang dibekingi Amerika. Suriah dan Turki yang disebut-sebut menyusun strategi melawan entitas Zionis pun, tampaknya tidak menunjukkan aksi nyata. Perjanjian dan kerja sama antar negara, menjerat mereka, menghalangi penegakan hukum Allah.
Sedangkan Jihad Difa’ merupakan bentuk perlawanan dan pertahanan terhadap serangan musuh, untuk membela agama, tanah air, harta, dan kehormatan kaum muslimin. Para ulama dari ke empat madzhab bersepakat bahwa jihad difa’ menjadi fardhu ‘ain ketika negeri kaum muslimin telah diserang atau dijajah. Tidak diperlukan izin dari imam, tidak perlu menunggu perintah pemerintah, dan tidak ada syarat kesiapan atau kekuatan yang ideal. Dalam keadaan darurat, setiap muslim wajib membela dirinya, keluarganya, dan tanah airnya sesuai kemampuannya. Ketika muslim Palestina belum berhasil mengenyahkan agresor, maka negeri muslim di dekatnya wajib mengerahkan kekuatan jihadnya. Saat hal itu tak dilakukan oleh negeri-negeri tersebut, maka beban jihad wajib ditegakkan oleh negeri-negeri yang jauh sampai kaum muslim memperoleh kemenangan.
Jihad dalam Islam telah diikat dengan lafaz mulia, yakni fī sabīlillāh (di jalan Allah). Karenanya jihad terlepas dari tujuan materi atau kepentingan duniawi, seperti kekuasaan, kekayaan, dendam, dan lainnya. Dalam Islam, jihad disyariatkan untuk mencapai tujuan-tujuan mulia yang telah ditetapkan Allah SWT Al-Khaliq, Al-Mudabbir.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Kitab Asy-Syakhshiyyah Islamiyyah jilid 2 menjelaskan bahwasanya jihad adalah mencurahkan kemampuan untuk berperang di jalan Allah secara langsung, atau dengan bantuan harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan, dan lainnya. Dengan demikian, makna syar’i jihad adalah peperangan (al-qital) dan semua hal yang terkait dengannya, baik pemikiran, ceramah, tulisan, strategi, dan lainnya.
Allah SWT berfirman,
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir. Mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan mereka tidak beragama dengan agama yang benar, (yaitu orang-orang) yang diberikan kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah [9]: 29)
Namun fakta politik saat ini, sangat sulit menegakkan jihad, sebab sekularisme yang menegasikan peran Allah di dalam kehidupan, masih menjadi pondasi dunia. Maka tak mungkin berharap pada negeri muslim yang ada. Perlu tata dunia baru yang memberi ruang kepada penerapan syariat dan memberi kesempatan umat memimpin peradaban, di bawah panji ar-rayah dan al-liwa. Dalam Islam kepemimpinan adalah pelindung dan pengatur, sebagaimana hadits Nabi saw. dari Abu Hurairah radhiyallâhu ’anhu bahwa Nabi Muhammad sallallahu a’laihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’alayh dll)
Maka solusi hakiki bagi Palestina adalah jihad yang dikomando oleh kepemimpinan tunggal kaum muslim yaitu Khilafah a’la minhajin nubuwwah. Satu-satunya bentuk pemerintahan yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dan menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukumnya. Tsumma takuunu khilafatan ‘ala minhajin nubuwwah.