Habis Manis Sepah Dibuang

Oleh : Beta Arin Setyo Utami, S.Pd.
LenSa MediaNews.Com, Opini–Pacaran, zina, hamil di luar nikah, minta pertanggungjawaban, berakhir dibunuh, begitu terus siklusnya. Bukan satu atau dua kasus saja, tapi sudah berjibun kasus demikian dengan motif yang sama, memenuhi berita harian. Seolah membunuh adalah jalan pintas terbaik mendapatkan solusi.
Di awal hubungan bertabur janji manis, setelah target berada di genggaman dan tujuan tercapai, kemudian jika terjadi hal yang tidak diharapkan, akhirnya ditinggal tanpa jejak atau bahkan nyawa taruhannya alias dibunuh. Maka, benarlah habis manis sepah dibuang.
Terbaru, terjadi di Gowa (Sulsel) kasus pembunuhan lantaran korban hamil dan meminta pertanggungjawaban dan berakhir dibunuh dengan hujaman 79 kali tusukan ke tubuh korban, 12 luka memar, 1 luka lecet dan 6 luka iris (detik.com, 22-01-2025).
Sebelumnya, terjadi di Lampung Selatan Pelaku memukul korban sebanyak tiga kali dan langsung meninggal di tempat (antaranews.com, 22-12-2024). Kasus yang sama juga terjadi di Bangkalan (Madura) dan berakhir dibunuh dengan cara dibacok, digorok lehernya dan diseret kemudian dibakar (kompas.com, 02-12-2024).
Sungguh, kejadian serupa terus berulang dengan berbagai cara yang kian hari kian bertambah sadis dalam waktu relatif singkat. Kejadian demi kejadian, belum cukup menjadikan bukti bahwa pacaran jelas mengantarkan pada perzinaan bahkan hilangnya 2 nyawa sekaligus, si ibu dan si jabang bayi.
Lelaki hidung belang, perempuan yang mudah terperdaya, media sosial yang begitu vulgar, tayangan-tayangan yang mengumbar nafsu, pemahaman agama yang semakin terkikis, lingkungan yang abai dan sistem yang liberal menjadikan perzinaan tumbuh subur bahkan seakan menjadi hal biasa di tengah masyarakat.
Kasus berulangpun sudah dianggap hal biasa. Denial-nya, di masyarakat masih menjadikan pacaran adalah hal yang lumrah dan cara efektif untuk penjajakan atau proses saling mengenal sebelum ke jenjang berikutnya yang lebih serius jikalau jadi menikah, sekalipun pacaran tak menjamin pasti nikah apalagi faktor penentu langgengnya rumah tangga.
Hal buruk seperti pacaran dianggap biasa sedangkan hal baik seperti ta’aruf dan nikah muda dianggap hal yang ekstrim, eksploitasi bahkan perampasan hak asasi manusia. Baik dan buruk tak lagi nampak jelas justru menjadi abu-abu di tengah penerapan sistem yang sekuler nan liberal di bawah naungan Kapitalisme global.
Sistem ini menjadikan kehidupan serba bebas dan memuja hawa nafsu. Jahatnya lagi, tanpa ada pertanggungjawaban atas kerusakan demi kerusakan yang kian merajalela. Justru sistem ini adalah biang dari kerusakan dan semakin memperparah tingkat kerusakannya. Misalnya, pornografi dan pornoaksi difasilitasi, tempat hiburan malam dan prostitusi kian menjamur, campur-baur laki dan perempuan sudah biasa, aurat bertebaran, pacaran disanjung, alat kontrasepsi bahkan obat penggugur kandungan bebas diperjual-belikan, tempat penggugur kandungan juga banyak dan sederet hal lain yang kian mendukung liberalisme pergaulan.
Negara hadir menawarkan solusi sesat menyesatkan, alih-alih melarang seks bebas justru menawarkan alat kontrasepsi dan dispensasi nikah lantaran hamil di luar nikah. Walhasil, terjadi gangguan kesehatan mental generasi kian labil dan parah, terperosok ke dunia malam menjadi PSK karena menganggap diri terlanjur kotor, penyakit mengerikan akibat seks bebas kian tak terbendung, menggugurkan kandungan atau aborsi dianggap solusi, peningkatan jumlah kasus pembuangan bayi, bahkan marak kasus nyawa melayang lantaran meminta pertanggungjawaban.
Padahal Islam mempunyai seperangkat aturan yang paripurna untuk menjaga kehormatan, kesucian, kemuliaan, nasab bahkan jiwa sekalipun. Islam mewajibkan menjaga pandangan dan kemaluannya dalam QS An-Nur ayat 30, menutup aurat dalam QS Al-Ahzab ayat 59, melarang zina termasuk pacaran dalam QS Al-Isra’ ayat 32, melarang ikhtilat (campur-baur) dan khalwat (berduaan) tanpa alasan syar’i dalam QS Al-Ahzab ayat 53, memenuhi syahwat melalui jalur menikah dalam surat An-Nur ayat 32. Jika belum siap menikah dianjurkan berpuasa, bukan pacaran atau zina sana-sini.
Hukuman cambuk bagi para pezina, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.” (TQS An-Nur:2). Selain hukuman cambuk, ditambah dengan diasingkan selama setahun (HR al-Bukhari).
Tentu semua itu bisa kita ketahui, pahami dan amalkan jika kita mau mendekat dan belajar tentang Islam, bukan malah phobia apalagi mengalienasi syari’at Islam. Lebih efektif dan efiensi lagi jika mekanisme Islam tersebut diterapkan oleh negara yang jelas akan memastikan penerapannya di tengah masyarakat dalam naungan Khilafah Islamiyah ala minhajin nubuwwah, bukan naungan yang lain termasuk demokrasi. Wallahualam bissawab. [LM/ry].