Lensa Media News, Surat Pembaca- Sistem peradilan di Indonesia kembali tercoreng setelah terkuaknya kasus dugaan suap tiga hakim pengadilan negeri Surabaya pada vonis bebas Gregorius Ronald Tanur. Tak tanggung-tanggung, uang suap senilai 20 M berhasil diungkap kejagung. Kasus ini sekaligus membongkar makelar kasus yang melibatkan salah satu mantan pejabat Mahkamah Agung. Selang beberapa waktu, muncul kasus baru terhadap dugaan suap tiga hakim yang terlibat terhadap putusan peradilan negeri Cibinong Reg No : 35/pdt.G/2024/PN.Cbi terkait sengketa tanah antara Tumpal Sitorus dengan PT Verri Sonnevile. Tuntutan mundur pada ketiga hakim yang terlibat pada kasus ini disampaikan oleh GEMPAR (Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Bogor) (7/11/2024).

 

Praktek mafia peradilan di negeri ini tak dapat dimungkiri terjadi. Dalam penelitian ICW tahun 2001-2002 menemukan bahwa mafia peradilan melibatkan hampir seluruh pelaku di dunia peradilan. Mulai dari hakim, pengacara, jaksa, polisi, panitera sampai karyawan dan tukang parkir baik di pengadilan negeri maupun MA. Artinya ketika seorang datang ke pengadilan berharap menemukan keadilan dalam permasalahannya, saat di tempat parkir praktek mafia peradilan memungkinkan sudah bisa di temui. Kenyataan ini makin membuktikan bahwa untuk mencari keadilan bagi rakyat biasa adalah hal yang sulit. Rakyat kecil baru akan bisa mendapatkan perlindungan hukum jika kasusnya sudah viral di media sosial.

 

Sistem peradilan yang bersih dapat diwujudkan dengan menekankan iman dan takwa bagi aparat penegak hukum, menerapkan hukum Islam, memberikan kesejahteraan pada hakim, dan memberikan sanksi berat terhadap aparat penegak hukum yang terlibat gratifikasi/suap. Dengan penerapan sistem peradilan yang bersih maka penerapan hukum pun dapat terlaksana bagi setiap warga negara. Wallahuallam.

 

Lena Aulana

 

[LM, Hw]