Influencer Diundang, Pencitraan Digaungkan
Oleh :Ummu Haidar
LenSa Media News–Ajakan Presiden Joko Widodo pada para influencer atau pesohor pemengaruh untuk melakukan kunjungan ke IKN alias Ibu Kota Nusantara menuai pro-kontra. Diketahui Jokowi didampingi sejumlah influencer untuk meresmikan Jembatan Pulau Balang dan meninjau pembangunan jalan tol menuju IKN.
Diketahui pula, sejumlah influencer yang mayoritas selebritas itu antara lain; Raffi Ahmad, Nagita Slavina, Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah, Irwansyah dan Zaskia Sungkar, Ferry Maryadi, Omesh dan Dian Ayu, Gading Marten dan Poppy Sovia, Sintya Marisca, Willie Salim, Meicy Villa, hingga Dian Ayu Lestari (tempo.co, 04/08/2024).
Upaya Memoles Citra
Penggunaan influencer dalam komunikasi kebijakan strategis negara dinilai mencederai rasa ingin tahu publik. Geliat perbincangan para influencer di media sosial membuat mereka dipilih ketimbang keberadaan jurnalis yang memang bertugas memberi informasi kepada masyarakat.
Sebagai langkah mendapatkan validasi instan. Influencer dianggap mampu menyebarluaskan pesan positif dan menarik perhatian publik. Namun kunjungan berbiaya tinggi yang membebani anggaran negara tersebut justru menguatkan aroma pencitraan pembangunan IKN yang masih menyisakan banyak persoalan, bahkan terancam gagal.
Seperti, target pembangunan yang tak tercapai, mundurnya ketua dan wakil ketua Otorita IKN, nihilnya minat investor asing, persoalan tanah adat, APBN yang digunakan, sulitnya air bersih serta banyak masalah lainnya. Alih-alih pamer kesuksesan pembangunan, publik justru diperlihatkan adanya upaya pengaburan fakta dan kebohongan.
Sungguh kebijakan yang tak tepat sasaran. Mengingat para pemengaruh akan bertindak sesuai kepentingan ekonomi pengguna layanan. Mereka akan membela pihak yang memberikan pembayaran seraya menutup mata terhadap masalah dilapangan. Pencitraan makin nampak ketika kunjungan tidak disertai dengan melihat dari dekat masyarakat terdampak pembangunan IKN.
Buah Kapitalisme
Kebijakan yang tidak efektif dan efisien, sejatinya merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme sekuler. Penguasa dalam sistem kapitalisme sekuler tidak punya visi besar dan ketulusan dalam mengelola negeri. Kekuasaan dan jabatan hanya untuk mendapatkan kepentingan pragmatis dan berorientasi kemaslahatan pribadi dan dinasti.
Tak mengherankan jika proyek pembangunan hanya dipandang sebagai urusan hitung dagang. Proyek pembangunan tak lebih dari “Bancakan” para sponsor politik dalam perebutan kursi kekuasaan. Nihil perencanaan matang dari para ahli yang berkompeten.
Sehingga masalah pun terus bermunculan. Alih-alih menjadikan negara mandiri dan berdaulat dengan rakyat yang sejahtera. Negara justru tergadai dan rakyat makin tercekik akibat utang. Cengkraman kekuatan modal pun kian nyata.
Semua niscaya ketika kepemimpinan dibangun atas asas kapitalisme sekuler. Sistem ini tidak mengenal Allah sebagai pengatur kehidupan. Para penguasanya tak menjadikan jabatan sebagai amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan.
Alhasil, pembangunan yang digulirkan nihil dari nilai insani dan moral. Hanya nilai materi yang dikejar tanpa batasan. Tak kenal halal haram. Wajar jika kezaliman, ketidakadilan, kerusakan alam bisa berjalan secara legal. Bahkan pelakunya para pemangku kekuasaan. Jika hasil tak sesuai yang diharapkan jurus pencitraan pun jadi andalan.
Pembangunan Dalam Islam
Negara Islam menjalankan semua program pembangunan dan pengurusan rakyat dengan efektif dan efisien. Islam menentukan negara selaku pihak yang membangun negeri dengan kekuatan sendiri. Pelaksanaan pembangunan harus memenuhi ketentuan syariat, baik dari sisi target penggunaan maupun pembiayaan.
Kebijakan ini hanya bisa diterapkan jika negara tidak memiliki ketergantungan pada pihak swasta maupun asing dalam segala hal termasuk keuangan.
Demikian pula dalam memilih pejabat yang berwenang. Kapabilitas, kredibilitas dan keimanan menjadi hal yang mutlak diperhatikan. Sementara halal haram menjadi standart amal perbuatannya. Islam juga menetapkan fungsi kepemimpinan dan pemimpin atasnya sebagai pengurus dan penjaga umat. Bukan sekedar regulator dan fasilitator semata.
Di sisi lain, negara menjamin suasana amar makruf nahi Munkar hidup ditengah masyarakat. Muhasabah lil hukam yang sesuai dengan tuntunan Islam senantiasa terjaga. Konsekuensinya, pemimpin dipastikan bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya orang per orang. Pembangunan ekonomi benar-benar berorientasi pemerataan dan kebutuhan.
Bukan pertumbuhan apalagi bagi-bagi kue kekuasaan. Pembangunan juga tidak boleh membawa kerusakan apalagi menjadi jalan penjajahan. Melainkan menambah nilai kebaikan yang mewujudkan Rahmat bagi seluruh alam. Demikianlah pengaturan Islam yang sempurna telah mencatatkan kegemilangan peradaban Islam belasan abad lamanya dalam tinta emas sejarah. Wallahualam bissawab. [LM/ry].