Pengangguran Berbanding Lurus dengan Kemiskinan Negeri Ini
Oleh: Nanis Nursyifa
LenSa Media News _ Opini_ Problem pengangguran masih menjadi PR besar bagi pemerintah yang menjabat hari ini. Seperti kita tahu bahwa pengangguran berbanding lurus dengan kemiskinan. Di sisi lain kemiskinan menjadi salah satu faktor pemicu kerawanan sosial. Ini menandakan minimnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Pemerintah pun tidak pernah berdiam diri mengatasi problem pengangguran ini, namun seiring dengan silih bergantinya rezim negeri, pengangguran selalu sulit untuk diatasi.
Seperti dikutip dari CNNindonesia.com pada tanggal 19 Juli 2024; angka pengangguran di Indonesia semakin tinggi, bahkan Indonesia menjadi juara pengangguran di ASEAN. Tentunya ini bukanlah suatu prestasi yang membanggakan. Lantas apa yang salah dengan strategi pemerintah selama ini?
Problem utama mengatasi pengangguran selama ini terletak pada kebijakan pemerintah yang hanya fokus pada aspek supply tenaga kerja. Bukan pada “bagaimana menciptakan lapangan kerja.”
Boleh jadi dengan cara tersebut orang yang bekerja terus bertambah, namun masalah selanjutnya adalah apakah dengan bekerja masyarakat lantas sejahtera? Jawabnya tdak.
Faktanya, data BPS sendiri menunjukkan, per September 2022, ada 9,57% penduduk atau sebanyak 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Itu pun diukur dengan standar pengeluaran yang sangat minimal, yakni hanya Rp535.547/kapita/bulan saja.
Begitu pun dengan pendidikan vokasional. Pada faktanya, pendidikan berorientasi pada kebidangan ini tidak serta merta terserap oleh dunia usaha, dunia industri, dan dunia kerja (DUDIKA). Penyebabnya ditengarai dari kurikulum yang ada tidak link and match dengan kebutuhan DUDIKA ini. Selain dinilai teoretis, juga berbasis pada target menciptakan tenaga kerja kuli dan tidak berdaya saing tinggi.
Lantas bagaimana solusi terbaik untuk mengatasi pengangguran di negeri ini?
Saat ini, pemerintah sangat bergantung pada proyek-proyek pembangunan yang berbasis investasi asing serta sektor ekonomi nonriil. Padahal, investasi asing berbasis pada utang ribawi dan kerap menyerap tenaga asing. Sedangkan, pembangunan sektor ekonomi nonriil hanya memacu pertumbuhan ekonomi di atas kertas, bahkan menyedot kekayaan rakyat ke tangan segelintir konglomerat.
Di pihak lain, situasi perekonomian pun sangat dipengaruhi oleh kondisi internasional. Hal ini merupakan konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal yang menjadikan Indonesia tidak memiliki kemandirian dan kedaulatan. Peran negara dalam sistem ini pun hanya sebatas regulator.i Tdak jarang negara berkolaborasi dengan kekuatan modal untuk memeras keringat rakyatnya.
Berbeda dengan pandangan Islam terhadap seorang pemimpin. Yaitu orang yang siap mengurusi urusan umat. Pemimpin akan siap menjaga bahkan mensejahterakan umat dengan jalan menerapkan syariat Islam sebagai solusi problematika kehidupan.
Solusi utama dalam Islam untuk mengatasi angka pengangguran adalah kewajiban laki-laki untuk bekerja. Tentunya ini harus ada support system dari negara agar negara memfasilitasi pendidikan yang memadai agar para laki-laki memiliki kepribadian Islam yang baik dan skill yang mempuni.
Kedua, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan yang halal dengan cara membuka akses luas kepada sumber ekonomi dan mencegah penguasaan kekayaan milik umum oleh segelintir orang bahkan ormas tertentu.
Ketiga, fokus pengelolaan kepada sektor riil saja jangan seperti sekarang hanya fokus ke sektor nonriil.
Negara pun dimungkinkan untuk memberi bantuan modal dan memberi keahlian kepada rakyat yang membutuhkan. Bahkan, mereka yang lemah atau tidak mampu bekerja akan diberi santunan oleh negara hingga mereka pun bisa tetap meraih kesejahteraan.
Maka, jika sistem kapitalisme selalu gagal dalam menangani masalah pengangguran ini, saatnya kembali kepada solusi Islam sebagai satu-satunya solusi hakiki yang datang dari ilahi Rabbi.
(LM/SN)