Benarkah Dinasti Politik adalah Hak Asasi Manusia?

Oleh : Falihah Balqis

 

 

LenSa Media News _ Opini _ Putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, mencuat ke publik karena kabar pencalonannya dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta. Setelah terpilihnya Gibran Rakabuming sebagai wakil presiden Republik Indonesia, pencalonan Kaesang menyulut amarah masyarakat. Hal ini tak hanya karena adanya hubungan keluarga dengan pemerintah sebelumnya dan pemerintah terpilih. Untuk kedua kalinya, pihak keluarganya mengajukan gugatan mengenai batasan usia calon demi bisa maju. Setelah kemarin Mahkamah Konstitusi (MK) meloloskan Gibran dengan mengurangi batas usia cawapres, kali ini Mahkamah Agung (MA) digugat untuk mengurangi batas usia cagub dan cawagub untuk meloloskan Kaesang.

 

Rupanya upaya pemberian jabatan dan kekuasaan ini tak berhenti di situ. Baru- baru ini, menantu dari Anwar Usman, adik ipar Presiden Joko Widodo diangkat menjadi Direktur Anak Usaha Pertamina. Jagat daring pun menjadi ramai, publik merasa bahwa dugaan dibangunnya dinasti politik keluarga Jokowi sudah berhasil untuk dimulai. Total Politik, sebuah kanal YouTube yang membahas tentang dunia politik Indonesia dengan mengundang berbagai tokoh, pun sempat menyinggung hal ini. Dalam episode “Pandji Pragiwaksono Kaget sama Jurus Andalan Prabowo?”, salah seorang pembawa acaranya berucap bahwa dinasti politik merupakan human rights atau hak asasi manusia. Sontak publik menjadi semakin marah sebab kanal YouTube yang sebelumnya bisa dipercaya sebagai sarana mengkritik pemerintah kini sudah memaklumi praktik ini.

 

Tanpa memihak ke sisi mana pun, apakah benar bahwa dinasti politik merupakan hal yang salah? Buktinya, tidak ada pasal dalam perundang-undangan negara kita yang menyebutkan bahwa pencalonan atau pengangkatan anggota keluarga pemerintah adalah ilegal. Sejauh ini, opini masyarakat hanya terbatas pada isu etika nepotisme tanpa dasar hukum yang pasti. Di sisi yang lain, ada sebagian masyarakat yang bertanya, apakah ini artinya Megawati juga patut digugat karena secara tidak langsung menjadi presiden karena nama ayahnya? Pertanyaan yang lebih general pun muncul, apakah benar bahwa respons negatif dari masyarakat terhadap fenomena dinasti politik keluarga Jokowi adalah tidak berdasar?

 

Politik dinasti bukanlah hal yang asing dalam pemerintahan di seluruh dunia. Dalam beberapa kasus, alasan pengangkatan “putra mahkota” sebagai pemimpin adalah karena sudah terjaminnya pendidikan kepemimpinan dan kemampuan dalam mempersatukan rakyat. Namun, politik dinasti yang dilancarkan dalam sistem demokrasi hanyalah berbasis nafsu akan kekuasaan. Terlebih, sudah menjadi rahasia umum bahwa keluarga ini terlibat dalam gurita bisnis yang menguasai aspek-aspek vital sumber daya negara (suara.com, 3 April 2024). Dengan demikian, praktik ini seharusnya bisa menyadarkan umat akan kecacatan sistem demokrasi dalam menciptakan pemerintahan yang adil.

 

Sebagai perbandingan, sistem pemerintahan Islam yang sesuai dengan fitrah manusia sudah mengantisipasi penyalahgunaan politik dinasti dengan pemahaman yang jelas mengenai posisi pemimpin. Pemimpin suatu negara atau khalifah seharusnya adalah seseorang yang mengemban amanah berat mengarahkan rakyatnya untuk mencapai tujuan hidup, yakni meraih ridho Allah. Amanah ini kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat hingga tentang hal-hal mendetail seperti pelaksanaan perundang-undangan. Adanya hubungan langsung antara khalifah dengan Allah ini mencegah nafsu duniawi mempengaruhi jalannya pemerintahan. Dengan demikian, rakyat pun terhindar dari kehidupan sengsara akibat sikap semena-mena pemerintahnya.

Wallahu a’lam.

(LM/SN)

Please follow and like us:

Tentang Penulis