UU KIA Menyelamatkan Nasib Ibu Bekerja, Benarkah?
UU KIA Menyelamatkan Nasib Ibu Bekerja, Benarkah?
Oleh: Maziyahtul Hikmah, S.Si
LenSaMediaNews.com – Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) resmi disahkan dalam rapat paripurna DPR. UU itu mengatur ibu berhak mendapat cuti melahirkan paling singkat 3 bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus. UU itu juga mengatur bahwa seorang ibu yang sedang cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya. Termasuk mendapat upah penuh untuk 3 bulan pertama ( detik.com , 15/06/2024).
UU KIA menjadi angin segar untuk karyawan perusahaan, terutama para ibu pekerja. Sebelumnya negara kita di anggap masih belum memiliki payung hukum terkait perlindungan terhadap hak pekerja terutama bagi para ibu yang bekerja. Kewajiban memberikan gaji penuh kepada ibu yang sedang cuti untuk melahirkan dalam kacamata perusahaan adalah sebuah kerugian yang besar. Apalagi saat ini banyak perusahaan dan lapangan pekerjaan yang justru mayoritas pekerjanya adalah wanita dan ibu-ibu. Pada satu sisi pekerja wanita memberikan untung perusahaan dengan kesediaan bekerja dengan gaji murah, tapi di sisi lain perusahaan juga tidak mau direpotkan dengan menggaji penuh karyawan yang sedang cuti melahirkan.
Begitulah ciri khas dari ideologi kapitalisme. Fokus utama dalam ideologi ini adalah bagaimana meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan usaha sesedikit mungkin. Ideologi ini secara sengaja telah mendorong para wanita untuk bekerja di luar rumahnya dengan terpaksa atau bahkan dengan sukarela. Hal ini karena dalam pandangan ideologi kapitalisme manusia dinilai berharga jika dia mampu memberikan kontribusi berupa materi secara nyata. Ideologi ini menanamkan pemikiran bahwa wanita produktif adalah wanita yang secara nyata memberikan kontribusi materi dalam kehidupannya.
Mereka berpandangan bahwa wanita baru dapat dikatakan produktif jika dia bekerja dengan mandiri tanpa bergantung pada laki-laki. Sebaliknya, profesi sebagai ibu rumah tangga dianggap sebagai profesi yang tidak produktif dan sia-sia. Dari pandangan ini memunculkan banyak keinginan bagi generasi muda untuk memilih menunda pernikahan atau bahkan tidak menikah sama sekali. Sebagian dari mereka memilih untuk tidak memiliki anak karena memandang bahwa kehamilan dan proses mengurus anak adalah sesuatu yang hanya menghambat jalan karir mereka.
Pola pikir sesat ini lahir dari rahim kapitalisme. Kapitalisme menganggap kemuliaan seseorang dinilai dari capaian materi secara nyata. Pantas saja bagi mereka wanita akan sangat dirugikan jika dia memilih untuk menikah dan menjalani proses kehamilan hingga memberikan asi kepada anaknya selama masa kepengasuhannya. Apalagi dalam iklim ekonomi kapitalisme jelas ini memberikan kerugian yang besar bagi tempat ia bekerja. Sehingga pengusaha kerap melakukan pemutusan kontrak kerja secara sepihak jika para ibu yang “terjebak” dengan kehamilan tidak mampu lagi memberikan kontribusi sebagaimana sebelum dia hamil dan melahirkan.
Itulah mengapa pembahasan terkait perlindungan hak kerja kepada wanita menjadi penting untuk dilakukan dalam sistem kapitalisme. Padahal jika kita melihat problematika tersebut dan mencari akar masalahnya, tentu saja masalah itu tidak akan selesai hanya dengan memberikan perlindungan hak kerja bagi para wanita terutama para ibu. Akan tetapi kita juga harus mengkaji kenapa saat ini para ibu yang harusnya cukup memiliki domain kerja di dalam rumah sebagai ibu dan manajer rumah tangga harus ditambah bebannya dengan tuntutan ekonomi? Padahal tugas sebagai ibu dan pengurus rumah tangga sejatinya bukanlah tugas yang sepele.
Islam menempatkan posisi wanita, terutama seorang ibu sebagai al umm wa robbatul bayt yang artinya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Sejak awal Islam tidak pernah menempatkan kewajiban nafkah ada di pundak para wanita apalagi seorang ibu. Seorang wanita boleh untuk bekerja selama dia tidak melepaskan tanggung jawab utamanya sebagai ibu. Ibu memiliki peran lebih dari pada sekadar materi, yaitu mempersiapkan generasi untuk menjadi generasi yang gemilang demi kemajuan peradaban Islam. Seorang ibu harus hadir sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Darinya anaknya akan ditanamkan akan akidah Islam dan kecintaan serta ketaqwaan anak terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Hal ini juga tidak terlepas dari posisi suami yang diwajibkan untuk memenuhi nafkah dan memberikan pendidikan terhadap istrinya tentang Islam. Negara yang menjamin terpenuhinya lapangan pekerjaan bagi laki-laki akan memudahkan para suami untuk memberikan nafkah bagi keluarganya tanpa harus memaksa ibu untuk ikut keluar mencari nafkah. Islam telah memberikan pengaturan yang begitu sempurna terhadap masing-masing peran wanita dan laki-laki agar semua berjalan beriringan dan selaras. Semua hubungan ini dibangun atas ketakwaan terhadap Allah. Sehingga akan memunculkan sinergitas yang cemerlang dan mampu membentuk generasi muslim dan peradaban Islam yang kokoh dan berkualitas.
Wallahua’lam bisshowab.