Kepala Daerah dalam Naungan Syariah
Oleh : Misalina
LenSa Media–Pilpres sudah berlalu dan kini suara rakyat kembali diburu untuk pilkada. Tidak heran, begitulah demokrasi di sistem sekulerisme. Dalam demokrasi, pemilu merupakan cara untuk memilih kepala negara atau kepala daerah.
Demokrasi yang berasas sekulerisme menjadikan kekuasaan sebagai alat legitimasi, mengalahkan supremasi hukum. Bahkan demokrasi meniscayakan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau pihak tertentu.
Mahkamah Agung (MA) putuskan syarat calon kepala daerah minimal 30 tahun. Keputusan ini dikritik oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengenai batas usia calon kepala daerah (okenews.com,02/06/2024).
Bukan persoalan usia, namun kesanggupan dalam menjalankan tanggung jawab sebagai kepala daerah. Bukan karena ada orang dalam, tapi karena berilmu dan ketakwaannya. Karena menjadi kepala daerah adalah amanah yang besar untuk dijalani dan akan dimintai pertanggung jawaban dihadapan Allah.
Kelemahan Demokrasi
Dalam demokrasi peraturan bisa saja berubah sesuai dengan kehendak pemilik modal. Karena pembuat aturan adalah manusia itu sendiri dan wajar jika terjadi perubahan usia bagi calon kepala daerah.
Bahkan, siapa pun bisa menjadi caleg (calon legislatif) atau wakil daerah, tidak perlu memiliki keahlian atau pendidikan khusus. Cukup memiliki ketenaran atau memiliki orang dalam di pemerintahan, sudah bisa menjadi kepala daerah.
Dalam demokrasi, apa pun bisa dilakukan sesuai dengan keinginan, dan berlomba-lomba untuk mendapatkan jabatan. Wajar hal ini terjadi, karena demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diambil oleh kapitalisme, ideologi ini menganggap materi sebagai keputusan tertinggi manusia.
Bahkan, menjadikan pemilu sebagai uslub atau cara untuk mencari pemimpin atau wakil rakyat. Hal ini dikarenakan ide dasar demokrasi yaitu, “kekuasaan di tangan rakyat”. Sehingga menjadikan pemilu cara yang tepat untuk memilih wakil daerah.
Selain itu, dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat, artinya manusialah yang berhak membuat aturan. Sementara itu, pemerintahan dalam Islam menempatkan Sang Pencipta sebagai pembuat aturan yang mengatur manusia itu sendiri.
Oleh sebab itu, kembalikan mekanisme pemilihan pemimpin atau kepala daerah kepada aturan yang dibuat oleh Sang Pencipta sehingga akan mendapat sosok dan pribadi yang adil, berilmu, dan bertakwa kepada Allah.
Kepala Daerah dalam Khilafah
Seorang kepala daerah (gubernur/wali, amil) dalam Khilafah diangkat oleh kepala negara (khalifah) dengan akad tertentu yang harus ditepati. Wali/amil merupakan penguasa, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai penguasa menurut Islam yaitu, muslim, laki-laki, balig, merdeka, adil, berakal, dan termasuk orang yang memiliki kemampuan.
Dalam Islam, mereka diangkat oleh Khalifah sendiri. wali/amil merupakan golongan orang-orang yang memiliki kelayakan untuk memegang urusan pemerintahan, berilmu, dan dikenal ketakwaannya. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam memilih para wali/amil, yaitu dari kalangan orang-orang yang dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, serta mengerti hati rakayat dengan keimanan dan kemuliaan negara.
Sehingga perlu adanya negara Islam untuk mewujudkan itu semua, dan inilah yang harus diperjuangkan oleh umat Islam. berdakwah dan menyampaikan opini di tengah-tengah umat tentang Islam, khususnya tentang pemerintahan, kekuasaan dan memilih pemimpin. Wallahualam bissawab. [LM/ry].