Hanya di Alam Demokrasi: Utak-Atik Undang-Undang Sampai Klik

Oleh: Sri Sumiyati
(Aktivis Muslimah)
LenSa Media News _ Gempita pilkada serentak yang akan diadakan bulan Nopember 2024 sudah mulai terasa. Partai-partai politik telah mempersiapkan taktik untuk mengajukan calon-calon mereka. Termasuk berusaha memuluskan jalan dari ganjalan-ganjalan yang mungkin akan menghalangi calon-calon tersebut untuk lolos melaju meraih kursi kekuasaan. Salah satu cara paling efektif adalah dengan mengubah aturan-aturan yang berlaku.
Dalam sistem demokrasi perubahan peraturan dan atau undang-undang untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak tertentu adalah hal biasa. Maka tidak mengherankan bila ada satu pihak yang mengajukan gugatan ke badan yudikatif untuk mengubah aturan dan undang-undang agar dapat memuluskan jalan mereka dalam percaturan politik di negara ini.
Mahkamah Agung (MA) misalnya, mengabulkan gugatan yang diajukan Partai Garuda terkait batas usia calon gubernur dan wakil gubernur. Kini, calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun saat hari pelantikan.
Berikut adalah isi pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU 9/2020 yang digugat itu: “Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon” (news.detik.com, Jumat, 31 Mei 2024).
Kita pun belum lupa dengan keputusan MK menjelang Pilpres dan Pileg tahun 2024 lalu. Seperti dilansir oleh bbc.com, tanggal 12 Oktober 2023, diperbarui 16 Oktober 2023, MK menyatakan batas usia minimal 40 tahun untuk calon presiden dan calon wakil presiden tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, seseorang yang berusia di bawah 40 tahun bisa mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden, asalkan sedang atau pernah menduduki jabatan negara yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.
MK mengeluarkan putusan ini pada Senin (16/10) dalam perkara gugatan terhadap pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret, Almas Tsaqibbirru.
Undang-undang ataupun peraturan ini terus diutak-atik sampai sesuai dengan kepentingan dan ambisi pihak-pihak tertentu akan undang-undang dan peraturan tersebut.
Demikianlah, demokrasi sebagai turunan sekularisme, memandang kebenaran bersifat relatif, sebab bergantung kepada kepentingan atau berasaskan manfaat. Hal semacam itu niscaya terjadi, karena Demokrasi hakikinya ditunggangi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan. Wajar, jika tidak ada kebenaran absolut dalam Demokrasi. Yang ada adalah kepentingan absolut.
Kebenaran dalam Pandangan Islam
Bertolak belakang dengan demokrasi, Islam memandang kebenaran bersifat absolut. Benar menurut Allah SWT, maka selamanya itu benar. Salah menurut Allah SWT maka selamanya itu salah. Tidak ada dan tidak akan bisa bagi satu orang atau kelompok tertentu menggugat aturan-aturan yang sudah diputuskan oleh Allah SWT.
Undang-Undang dan peraturan dalam Islam bersumber dari Al-Qur’an (Kitabullah), As-Sunnah, ijma’ sahabat, dan Qiyas. Hukum-hukum yang masih bersifat bias atau fenomena up date yang belum terjadi di masa-masa sebelumnya, maka penggaliannya pun dilakukan dengan proses ijtihad oleh para mujtahid. Ketika mujtahid berhasil melakukan ijtihad sehingga hukumnya ditetapkan, Khalifahlah yang kemudian berhak memutuskan untuk menerapkannya dalam masyarakat atau tidak. Tentu penerapannya untuk tujuan kemaslahatan serta persatuan umat dan Islam. Bukan untuk melegalisasi kepentingan pihak-pihak tertentu.
Allah SWT menegaskan bahwa menetapkan hukum adalah hakNya. Sebagaimana termaktub dalam QS. Al-An’am: 57, “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (kebenarannya, yaitu Al-Qur’an) dari Tuhanku, sedangkan kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.”
Wallahua’lam.