Generasi Wajib Raih Pendidikan Tinggi

Oleh. Gita Aulia

 

 

LenSa MediaNews__ Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim telah memutuskan untuk membatalkan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di tahun 2024. Hal ini setelah Kemendikbud Ristek bertemu dengan para rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN). “Kami akan mere-evaluasi semua permintaan peningkatan UKT dari PTN-PTN,” kata Nadiem, di Istana Negara setelah menghadap Presiden RI Joko Widodo, Jakarta, Senin (27/5). Sehingga untuk tahun ini, dipastikan tidak ada mahasiswa yang akan terdampak kenaikan UKT tersebut. Kemendikbud Ristek mengevaluasi satu per satu permintaan atau permohonan perguruan tinggi untuk peningkatan UKT, untuk tahun berikutnya (www.mediaindonesia.com).

 

Sebelumnya diberitakan bahwa kenaikan UKT sejumlah PTN sampai berlipat-lipat. Misalnya saja di Universitas Soedirman Solo. Berdasarkan Peraturan Rektor Unsoed Nomor 6 Tahun 2024, UKT S1 Reguler Unsoed dibagi menjadi 8 kelompok. UKT tertinggi, dipegang oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yakni Rp33,5 juta per semester. Sedangkan di Universitas Indonesia, UKT tertingginya mencapai Rp20 juta per semester (www.detik.com, 25/5/2024)

 

Kegaduhan keputusan kenaikan UKT ini, telah memupus impian anak muda yang semula ingin kuliah di PTN, kampus yang dulu dikenal lebih terjangkau dibanding kampus swasta kini biayanya malah melambung tinggi. Sejumlah mahasiswa kampus negeri pun terancam tidak bisa melanjutkan kuliah karena merasa tidak mampu lagi mengikuti kenaikan tersebut, maka pemerintah pun banyak menuai kritik dari berbagai pihak, bahkan terjadi demo dari mahasiswa. Namun, anehnya pemerintah menanggapi bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier yang tidak masuk dalam wajib pendidikan di Indonesia selama 12 tahun. Sesungguhnya kenaikan UKT adalah imbas dari liberalisasi PTN tanah air dengan pemberlakuan undang-undang PTN BHMN. Negara bukannya menambah anggaran biaya perguruan tinggi, namun justru dipangkas sehingga PTN dan kampus pun dibiarkan mencari dana sendiri. Di antaranya melalui penerimaan mahasiswa baru dan menetapkan biaya yang tinggi termasuk juga membuka jalur mandiri bagi calon mahasiswa yang mau membayar mahal.

 

Kecilnya anggaran pendidikan yang hanya 20% harus didistribusikan ke pos-pos pendidikan tidak cukup untuk membiayai 85 PTN di seluruh Indonesia, ini menunjukkan pemerintah makin lepas tangan membiayai pendidikan warganya. Kebijakan zalim ini merampas hak generasi Indonesia meraih pendidikan tinggi, mengancam kualitas SDM rakyat hingga mempersulit bersaing di dunia internasional. Cara pandang pengurusan sistem pendidikan seperti ini hanya ada dalam sistem kapitalisme sekuler. Dimana peran negara hanya sebatas regulator termasuk dalam kebutuhan dana pendidikan ini. Beban biaya pendidikan diserahkan ke masyarakat. Ketika gaduh, negara menunda kenaikan tahun depan. Berarti, niat menaikkan UKT tetaplah ada.

 

Sedangkan dalam sistem Islam pendidikan bukan pilihan apalagi kebutuhan tersier tapi pokok bahkan wajib dengan tujuan utama mendidik setiap muslim supaya menguasai ilmu-ilmu agama seperti:
Pertama ilmu aqidah, fiqih, dan sebagainya.
Kedua mencetak pakar dalam bidang tsaqofah ilmu-ilmu agama seperti ahli fiqih, ahli tafsir, ahli hadis dan sebagainya, juga ahli sains dan teknologi yang hukumnya fardhu kifayah yang dibutuhkan umat, di dalam Islam negara tidak boleh membebani rakyat dengan pajak.

 

Pasalnya Islam sudah menetapkan sumber biaya pendidikan sesuai dengan hukum syariah sumber ini bisa berasal dari sejumlah pihak pertama dari warga secara mandiri, kedua infaq atau donasi, serta wakaf dari umat untuk keperluan pendidikan sarana dan prasarana maupun biaya hidup para guru dan para pelajar. Islam mendorong sesama muslim untuk menolong mereka yang membutuhkan. Sistem Islam menjadikan generasi mudah meraih kebutuhan pendidikan tinggi dan akan membawa pada kebaikan masa depan generasi. Allahu’alam bishshawab

Please follow and like us:

Tentang Penulis