Miris, Pinjol Meningkat saat Ramadan
Oleh: Nusaibah Al-Mujahidah
Lensa Media News – Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memproyeksi penyaluran pinjaman online (pinjol) pada saat momentum Ramadan 2024 ini akan melonjak. Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar menyampaikan bahwa asosiasi menargetkan pendanaan di industri financial technology peer-to-peer (fintech P2P) lending saat Ramadan dapat tumbuh sebesar 12%. Proyeksi ini karena permintaan yang meningkat saat bulan suci. (bisnis.com pada 3/3/2024)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti masih rendahnya pendanaan untuk sektor Usaha Mikro Kecil, dan Menengah (UMKM) di industri pembiayaan. Padahal kebutuhan pendanaan UMKM masih sangat besar dan tidak dapat disediakan seluruhnya oleh perbankan. Dikutip dari Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perusahaan Pembiayaan 2024-2028, kajian yang dilakukan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan Ernst and Young (EY) menunjukkan terdapat tren kesenjangan antara supply and demand pendanaan UMKM sampai dengan tahun 2026. Pada 2026, kesenjangan tersebut diproyeksikan mencapai Rp4.300 triliun, sedangkan kemampuan untuk penyaluran pendanaan untuk UMKM oleh lembaga jasa keuangan pada periode tersebut hanya Rp1.900 triliun. (bisnis.com pada 10/3/2024)
Pinjol saat ini menjadi solusi permasalahan finansial, termasuk dalam hal UMKM. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami kesusahan permodalan. Terlebih saat permintaan meningkat, tentu membutuhkan modal untuk meningkatkan produksi. Kondisi ini dijadikan peluang bagi para pemilik modal mendirikan perusahaan fintech yang menawarkan peminjaman uang dengan prosedur lebih mudah dibandingkan perbankan dan perusahaan pembiayaan. Namun tetap dengan mekanisme pinjaman berbunga (riba).
Sistem kehidupan saat ini diatur oleh sistem kapitalisme menjadikan masyarakat memandang hal tersebut adalah solusi. Padahal keberadaan perusahaan fintech adalah gambaran nyata lepas tanggungjawab penguasa kapitalisme dalam menjamin kesejahteraan pengusaha. Pengusaha kecil dibiarkan mencari modal sendiri tanpa jaminan sedikitpun. Masyarakat dipaksa dan dibuat rela melanggar hukum syariat hanya demi mencari uang.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan negara sebagai pengurus dan melayani masyarakat dengan sepenuh hati. Sikap ini karena konsekuensi bahwa kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.
Seperti sabda Rasulullah SAW, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”. (HR. Al-Bukhari).
Secara fakta UMKM termasuk ekonomi dari sektor riil karena ada aktivitas perdagangan. Perdagangan menjadi salah satu dari empat sumber ekonomi negara Islam selain pertanian, jasa, dan industri. Permodalan UMKM dalam Islam tidak bersumber dari perusahaan fintech, bank, atau perusahaan lainnya namun bersumber dari Baitul Mal. Baitul Mal adalah lembaga keuangan negara Islam yang memiliki tiga sumber pemasukan yaitu pos kepemilikan negara, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Untuk pembiayaan modal usaha negara Islam mengalokasikan dari pos kepemilikan negara atau umum. Negara bisa langsung memberikan pinjaman tanpa menggunakan mekanisme riba atau secara cuma-cuma. Pemberian ini dilakukan seperlunya hingga kurang lebih dalam setahun. Agar dana tidak disalahgunakan, negara akan melakukan pengawasan dan kontrol terhadap jenis usaha yang dikembangkan. Selain itu dalam islam ada konsep kerja sama (syirkah) yang mempertemukan para pemilik modak dan pengembang. Mereka boleh saling kerja sama untuk saling mengambil manfaat.
Inilah gambaran negara Islam berperan dalam mengembangkan usaha rakyat sebagai salah satu sumber memenuhi kebutuhan hidup. Negara akan menjaga rakyatnya dihindarkan dari larangan syariat ketika berusaha. Negara Islam mampu menciptakan suasana bisnis yang sehat dan syari. Semakin rindu diterapakan sistem Islam yang jelas mampu mensejahterkan rakyatnya.
[LM/nr]