Komodifikasi Berkedok Investasi Perempuan
Oleh: Kiki Zaskia, S. Pd.
(Aktivis Muslimah Bombana)
LenSaMediaNews.com_Dalam perjuangan hak-hak perempuan tentu sudah banyak organisasi yang berjuang untuk perempuan atau seringkali disebut sebagai kelompok feminisme. Perjuangan kelompok ini dengan segala dinamikanya ternyata sudah tak muda lagi umur perjuangannya. Tak terasa sudah seabad.
Dilansir dari UN Women, hari perempuan internasional pada 2024 mengusung tema “Invest in Women: Accelerate Progress,” yang artinya berinvestasi pada perempuan mempercepat kemajuan. Tercapainya kesetaraan gender dan kesejahteraan perempuan dalam semua aspek kehidupan dipandang semakin penting, untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi serta kehidupan yang sehat untuk generasi mendatang.
Berinvestasi pada perempuan dimaknai dalam beberapa hal, bukan hanya soal hak asasi manusia. Namun, merupakan langkah penting menuju pemberantasan serta mengentaskan kemiskinan dengan menerapkan pembiayaan responsive gender. Sehingga dapat memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang setara terhadap sumber daya dan peluang keuangan.
Perempuan dalam Sistem Kapitalisme
Hingga kini masih bergulir penderitaan perempuan di dunia. Utamanya kemiskinan dan diskriminasi. Namun, mirisnya persoalan ini direspon dunia secara global yang kapitalistik, termasuk di negeri ini, dengan upaya meningkatkan kesetaraan gender dan melibatkan perempuan dalam mengentaskan kemiskinan.
Alhasil, negara menginisiasikan untuk berinvetasi pada perempuan dengan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk belajar dan berkarya termasuk menyediakan dana untuk mewujudkan kesetaraan gender. Harapannya bukan hanya memperbaiki kondisi perekonomian kaum perempuan tetapi kelak negara akan mendapat banyak keuntungan inilah bentuk komodifikasi perempuan.
Di antara bentuk komodifikasi perempuan yaitu perempuan didorong untuk bekerja dan berkarya menghasilkan cuan. Solusi ini semakin kencang disuarakan di tengah kondisi perekonomian dunia yang carut-marut sebagai hasil dari penerapan sistem ekonomi-kapitalis. Sebagaimana terjadi pada salah satu perusahaan kosmetik milik perempuan, The Body Shop yang harus gulung tikar beberapa gerainya di AS sebab inflasi di negara tersebut.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspa Prayaoga menyampaikan peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan yang berperspektif gender merupakan salah satu agenda prioritas yang dimandatkan oleh presiden Joko Widodo. Namun mengundang pertanyaan besar, ketika negara yang telah gagal mengelola ekonomi dengan cakap, mengapa perempuan yang harus pasang badan?
Inilah keadaan sistem yang amat kapatalistik hari ini. Perempuan diharuskan untuk bekerja sebab negara berharap dengan adanya keluarga yang sejahtera -di dalamnya ada perempuan yang bekerja dan berpenghasilan- dianggap mampu memberikan pendidikan dan kesehatan yang baik bagi anak-anak serta mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam sistem kapitalisme, negara hanya diposisikan sebagai regulator bukan eksekutor, sehingga memberikan jalan mulus bagi para pemilik modal menguasai hajat hidup masyarakat. Tak ayal dikatakan negara lepas tangan menjaga kehormatan perempuan, kemuliaan, dan jaminan kesejahteraan perempuan.
Perempuan dalam peradaban kapitalisme terbentuk menjadi perempuan yang tidak menyadari hak-haknya. Sebab, terkaburkan oleh pengondisian rakyat yang telah terbiasa tak mendapatkan pelayanan ekonomi dari negara yang seharusnya utuh.
Alhasil, seringkali salah arah. Kelompok feminisme dan kesetaaran gender menipu banyak perempuan. Hal ini juga berakibat pada penurunan produktifitas peran keibuan hingga mengorbankan pendidikan anak di rumah.
Di sisi lain, berpendidikan dan bekerja memang kiprah mulia perempuan. Namun, apabila diinsafi meskipun perempuan telah bekerja dan telah menghasilkan uang, uang tersebut hanya habis digunakan untuk biaya pendidikan dan kesehatan anak-anaknya, saking mahalnya kedua kebutuhan tersebut.
Islam Memuliakan Perempuan
Islam menetapkan negara bertanggung jawab memenuhi hak setiap individu termasuk perempuan dalam hal kesejahteraan, pendidikan, dan kesempatan untuk berkarya dengan ketentuan rinci atas peran serta perempuan dalam masyarakatnya.
Peran perempuan yaitu, al-umm wa rabbatul bayt atau ibu dan pengatur rumah tangga. Selain sosok ayah, ibu memiliki peran strategis mengurusi rumah tangga dan mendidik keluarganya. Adapun bekerja bagi perempuan itu sekadar pilihan bukan tuntutan ekonomi ataupun sosial. Jika perempuan menghendaki, dia boleh bekerja, jika tidak, maka boleh tak bekerja.
Sebab, hal tersebut tidak mempengaruhi kesejahteraannya karena negara justru yang wajib menjamin kebutuhan pokok perempuan. Dengan mekanisme kewajiban nafkah ada pada suami/ayah, kerabat laki-laki. Jika tidak ada suami/ayah atau mereka ada tapi tidak mampu, maka jaminan secara langsung akan ditanggung oleh Khalifah. [LM/Ss]