Tanam Singkong Tumbuh Jagung?

Oleh: Ummu Zhafran

pegiat literasi

 

Lensa Media News–Viral kutipan pada judul di atas. Gara-garanya, persoalan Food Estate yang menyulap ribuan hektar hutan jadi ladang singkong sempat diangkat pada debat Cawapres lalu.

 

Program tersebut dinilai oleh sebagian kandidat sebagai program gagal. Mengapa? Karena lahan ditanami singkong namun yang tumbuh justru jagung. Media tanamnya juga dalam polybag, bukan langsung di tanah.

 

Tentu saja ramai komentar publik terkait hal tersebut. Mayoritas setuju, meski tak sedikit yang kontra, pastinya dari pendukung kandidat yang berbeda. Tapi terlepas dari suhu yang semakin hangat dalam pesta lima tahunan kali ini, harus diakui deforestasi atau berkurangnya lahan hutan itu nyata.

 

Tak sedikit yang kini beralih fungsi, tak hanya Food Estate, melainkan juga jadi kawasan industri, lahan kelapa sawit, dan lain sebagainya di penjuru negeri.

 

Walhi, organisasi yang fokus pada lingkungan hidup di negeri ini memberitakan, dari data yang dirilis, untuk Riau saja misalnya, mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 hektare sepanjang 2023.

 

Kurang lebih 57 persen di antaranya telah dikuasai investasi terdiri dari 273 perusahaan kelapa sawit, 55 Hutan Tanaman Industri, 2 Hak Pengelolaan Hutan (HPH), dan 19 pertambangan. Sementara untuk total pengurangan hutan di seluruh Indonesia sebesar 1,3 juta hektar dalam lima tahun (cnnindonesia, 12/1/2024).

 

Dari data tersebut, tak salah kiranya bila khalayak mencemaskan masa depan generasi. Bagaimana nasib mereka di sepuluh, dua puluh tahun mendatang, bila sekarang saja bencana sudah bergantian menyapa? Tinggal sebut, semua ada. Banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem, kebakaran hutan serta kelaparan yang sampai merenggut nyawa.

 

Mari lebih jernih lagi memandang, akan kita dapati deforestasi sejatinya buah dari ketamakan oligarki dalam bingkai sistem ekonomi kapitalis. Bagaimana tidak, ketika hutan yang tabiat alaminya sebagai sumber kehidupan dan penghidupan dibabat habis demi keuntungan segelintir orang. Tak peduli, meski untuk itu, mengorbankan ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat.

 

Memang, karakter kapitalisme ini sangat menonjol antara lain, menomor satukan kepemilikan individu (wikipedia). Tampak dalam pengelolaan hutan, yang dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH yang diberikan oleh penguasa. Begitu pula asas manfaat yang menjadi landasan ideologi ini. Semua hal dengan sendirinya dipandang dari kacamata untung rugi, bukannya memberi dan melayani.

 

Sangat bertolak belakang dengan pandangan Islam. Allah Swt. melalui Rasulullah saw. sungguh telah menurunkan syariat yang mengatur segalanya secara komprehensif dan bersifat solusi. Tentang siapa pemilik hutan, misalnya. Hutan merupakan milik umum.

 

Nabi saw. bersabda,“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).

 

Hadits ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai illat (alasan penetapan hukum), yakni menjadi hajat hidup orang banyak (Imam Syaukani, Nailul Authar).

 

Berikutnya dalam kitab Al Amwal fi Dawlah Khilafah karya Abdul Qadim Zallum diterangkan, untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung.

 

Namun disyaratkan tidak menimbulkan bahaya pada orang lain dan tidak menghalangi hak siapa pun untuk turut memanfaatkannya. Misal, pengambilan ranting-ranting kayu di hutan, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, serta buah-buahan dan air.

 

Sedangkan untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas, hanya negara –sebagai wakil kaum muslimin– yang berhak untuk mengelolanya.

 

Sama halnya dengan hutan, pengelolaannya pun menurut syariah hanya boleh dilakukan oleh negara, tak boleh swasta. Sebab pengolahan hutan juga tidak mudah dilakukan oleh orang per orang, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar.

 

Sabda Rasulullah saw., “Imam/ Khalifah adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Muslim).

 

Negara yang mendapat mandat syariat akan mengelola sebesarnya untuk kemaslahatan seluruh warga negara tanpa membedakan ras, suku, dan agama. Terhadap deforestasi pun bakal dipandang dengan kacamata kepentingan rakyat, bukannya kepentingan swasta atau pengusaha.

 

Di titik inilah niscaya terwujud Islam rahmatan lil alamin sebagaimana yang pernah terwujud selama berabad-abad ketika dunia berada di bawah naungan kekuasaan Islam yang menerapkan syariah kafah. Wallahua’lam bissawab. [LM/ry].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis