Konflik Lahan Marak, Bukti Kapitalisme Mengancam

Oleh: Rahmiwati

(Aktivis Dakwah Idiologis)

 

 

Lensamedianews.com– Masih membekas kasus Rempang hingga saat ini, warga Melayu di Rempang yang menjerit pilu. Lahan yang sudah mereka tempati sejak turun-temurun, tanpa mereka ketahui, ternyata kepemilikannya sudah berpindah tangan. Kini mereka dihadapkan pada kebijakan penggusuran. Di atas tanah mereka akan dibangun Rempang Eco-City. Di Kepulauan Rempang akan dibangun juga industri silika dan solar panel milik perusahaan Cina.

Konflik pun pecah. Warga yang berusaha mempertahankan lahan mereka dihalau oleh aparat keamanan dengan cara kekerasan. Pemerintah memaksa warga harus mengosongkan lahan mereka segera. Pemerintah berdalih, investasi yang bernilai Rp300 Triliun itu akan meningkatkan pendapatan asli daerah dan menyejahterakan warga. Meski banyak menuai kecaman, Pemerintah tetap akan melanjutkan proyek tersebut.

Tak hanya di Rempang, Konflik lahan di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, kembali terulang. Puluhan pohon cengkeh warga Desa Mosolo yang siap panen habis diterjang alat berat. Perusahaan dituntut tidak memaksakan kehendak dan mengikuti aturan untuk menghindari konflik yang lebih besar, tetapi pada akhirnya terjadi bentrok antara warga dan perusahaan juga terjadi di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan. Warga berusaha mempertahankan lahan kebun cengkeh siap panen yang diterobos oleh perusahaan pemilik izin usaha pertambangan (IUP) nikel di wilayah ini, PT Gema Kreasi Perdana (GKP).

Tak ketinggalan kasus sengketa lahan, sudah menjadi rahasia umum terjadi adanya saling klaim pemilik lahan yang sah di antara masyarakat. Merasa jadi korban mafia tanah, puluhan warga Demo Ke BPN di Kota Kendari. Tepat di 1 Maret 2023 yang lalu warga yang di dominasi ibu-ibu RT ini berunjuk rasa karena menjadi korban mafia tanah yang menyerobot dan menggusur mereka. (HaluanRakyat.Com/1/3/2023)

 

Konflik Lahan Marak

Konflik Rempang, Pulau Wawonii, demo di BPN menambah panjang deretan persoalan lahan di tanah air. Komisi Ombudsman menyebutkan, laporan masyarakat tentang agraria mencapai 1.612 laporan sepanjang 2021.

Pada 2022, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional saat itu membeberkan jumlah tanah sengketa yang terdaftar sudah hampir 90 juta bidang tanah, sedangkan yang berkonflik mencapai 8.000 kasus. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendata sepanjang delapan tahun kepemimpinan Jokowi ada 2.710 konflik agraria di seluruh Indonesia dan tidak ada solusi nyata untuk itu.

Ada indikasi pemerintah menggunakan cara domein verklaring, yakni “negaraisasi” lahan. Artinya, lahan yang tidak memiliki bukti kepemilikan secara otomatis beralih menjadi milik negara. Lalu negara berwenang untuk mengelola lahan itu, termasuk menyerahkan lahan tersebut kepada pihak lain.

Domein verklaring adalah konsep kolonialis Belanda untuk menguasai lahan milik pribumi yang tidak mempunyai bukti kepemilikan lahan. Kekhawatiran ini disampaikan sejumlah pihak, termasuk Komnas HAM, saat mengkritisi RUU Pertanahan pada tahun 2019. Dengan adanya UU Cipta Kerja juga banyak pihak yang mengkhawatirkan warga akan mudah kehilangan hak kepemilikan lahan. Pasalnya, dalam UU Cipta Kerja (Pasal 103 ayat 2) disebutkan: “Untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional, lahan budidaya pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan.”

 

Islam Melindungi Kepemilikan Lahan

Berbeda dengan sistem hukum lahan di negeri ini, syariat Islam melindungi harta masyarakat secara total, termasuk lahan. Islam mengatur skema kepemilikan lahan dengan adil. Warga bisa memiliki lahan melalui pemberian seperti hadiah atau hibah dan warisan. Islam juga membolehkan Khilafah membagikan tanah kepada warga secara cuma-cuma. Rasulullah saw., misalnya, pernah memberikan tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau Juhainah. Beliau pun pernah memberikan suatu lembah secara keseluruhan kepada Bilal bin Al-Harits al-Mazani.

Syariat Islam juga menetapkan bahwa warga bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni lahan tidak bertuan, yang tidak ada pemiliknya. Rasulullah saw. Bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)

Syariat Islam juga mengingatkan para pemilik lahan agar tidak menelantarkan lahannya. Penelantaran lahan selama tiga tahun menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut. Selanjutnya, lahan itu bisa diambil paksa oleh negara dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan tersebut. Ketetapan ini berdasarkan Ijmak Sahabat pada masa Khalifah Umar bin Al-Khaththab ra.. Imam Abu Yusuf dalam Kitab Al-Kharâj mencantumkan perkataan Khalifah Umar ra., “Tidak ada hak bagi pematok lahan setelah tiga tahun (ditelantarkan),” (Abu Yusuf, Al-Kharâj, 1/77, Maktabah Syamilah).

Sengketa lahan dan perampasan lahan tidak akan pernah tuntas selama tidak dikelola dengan syariat Islam. Aturan hari ini akan terus mengancam pemilik lahan, terutama rakyat. Mereka kesulitan mendapatkan pengakuan atas kepemilikan lahan mereka. Sebaliknya, penguasanya justru lebih sering berpihak pada korporasi atas nama investasi. Hari ini saja di Tanah Air jauh lebih banyak lahan dikuasai oleh pengusaha daripada oleh rakyat biasa. Walhi menyebutkan 94,8 persen lahan dikuasai oleh para pengusaha. Begitu sedikit yang tersisa untuk rakyat. Ini akibat tata kelola lahan yang rusak dan keberpihakan penguasa kepada pengusaha, bukan kepada rakyat. Inilah sumber kerusakan tersebut.

Hanya syariat Islam yang bisa memberikan perlindungan menyeluruh dan berkeadilan untuk seluruh umat manusia. Bergegaslah menuju penerapannya. Dengan penerapan syariat Islam, Allah Swt. pasti akan mendatangkan keberkahan berlimpah untuk umat manusia. Wallahu’alam bishowab. [LM/UD]

Please follow and like us:

Tentang Penulis