Persoalan Bertubi Mendera Negeri, Benarkah Solusinya Moderasi?
Persoalan Bertubi Mendera Negeri, Benarkah Solusinya Moderasi?
Oleh : Ummu Zhafran
(Pegiat Literasi)
LenSaMediaNews.com – Kasus Rempang masih menyisakan bara. Konflik Agraria susul-menyusul terkuak pula setelahnya. Tidak ketinggalan BBM non-subsidi yang berganti harga. Di tengah keruwetan yang seolah tidak ada habisnya ini, anehnya moderasi kembali dicanangkan sebagai solusi permasalahan bangsa.
Sebelumnya, menarik untuk dicermati apa makna sikap moderat alias moderasi yang dirumuskan perumus aslinya dari Barat. Rand Corporation, sebuah lembaga think-thank dari Amerika Serikat menulis dalam salah satu artikelnya,
“Muslim moderat adalah mereka yang (setuju) demokrasi dan HAM yang diakui secara internasional (termasuk persamaan gender dan kebebasan beribadah), respek terhadap perbedaan, setuju terhadap sumber hukum yang non-sektarian dan menentang terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan yang terlarang lainnya.” (Building Moderate Muslim Networks)
Dengan kata lain, bicara moderasi berarti bicara kepentingan membangun relasi yang baik antar agama. Maka menjadikan moderasi semakin diharuskan, layak mengundang tanya. Benarkah semua persoalan yang terjadi bermuara pada konflik horizontal berbasis agama? Kenyataannya tidak. Banyak problem serius justru tidak ada kaitannya dengan hal tersebut. Seperti penyalahgunaan narkoba, kenaikan BBM, kemiskinan, stunting, maraknya bullying, dan masih banyak lagi. Menyelesaikan perkara-perkara itu dengan moderasi tentu ibarat gayung tak bersambut.
Tetapi penguatan moderasi beragama tetap melaju. Bahkan begitu seriusnya urusan ini sampai harus terbit Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Di dalamnya juga menetapkan Menteri Agama sebagai Ketua Pelaksana Sekretariat Bersama Moderasi Beragama. (Republika.co.id, 25/9/2023)
Lantas mengapa harus terus menggiatkan moderasi? Jawabnya, mengutip dari laman resmi Kominfo, bahwa terdapat kecenderungan sebagian orang terjebak pada pengamalan agama yang terlalu fanatik. Atas nama agama, jadilah sebagian orang menebarkan caci maki, amarah, fitnah, berita bohong, memecah belah, bahkan menghilangkan eksistensi kelompok berbeda. Untuk itu, mereka yang mengamalkan pemahaman agama yang berlebihan itu diharapkan mengambil jalan moderat yang dapat memanusiakan manusia. (Kominfo.go.id, 2019)
Dari untaian kata yang tersurat, harus diakui ada yang mengganjal. Seruan untuk moderat seakan mengirim pesan bahwa Islam yang ideal adalah yang ramah, santun, anti fanatisme dan menjunjung tinggi toleransi. Sebaliknya, muslim yang taat pada syariat terlebih ingin totalitas menjalankan aturan Sang Maha Pencipta, diberi stigma negatif seperti radikal, menebar ujaran kebencian bahkan benih terorisme.
Tidak dapat disalahkan jika akhirnya publik menengarai, mengarus-utamakan moderasi di tengah sengkarut kondisi bangsa justru potensial menimbulkan masalah baru. Salah satunya risiko benturan antar elemen dalam masyarakat yang notabene saudara sebangsa bahkan utamanya, saudara se-akidah. Tambahan lagi, guna menguatkan istilah moderat agar mudah diterima, surah Al Baqarah ayat 143 tak jarang diangkat pula sebagai dalil,
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), ummatan wasathan (umat pertengahan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Padahal jika kita merujuk pada kitab tafsir Imam At-thabary, maka makna wasath diartikan sebagai ‘udulan (umat yang adil) dan khiyar (terpilih) yaitu adil dan terbaik mengikuti syariat dari Allah, Dzat Yang Maha Adil.
Alangkah ironis. Di negeri dengan pemeluk Islam terbesar dunia justru ajaran Islam dikerat dengan ide moderat. Padahal sami’na wa atho’na (kami dengar dan taat) terhadap segala yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sejak lama telah menjadi pedoman umat. Tak seharusnya direduksi sebatas kewajiban salat, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu saja.
Allah Swt. berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan jangan kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al Baqarah:208)
Dalam tafsirnya untuk ayat di atas Imam Ibnu Katsir menegaskan perintah Allah untuk masuk ke dalam syariat Nabi Muhammad saw. dan untuk tidak meninggalkan sesuatu pun yang ada padanya.
Artinya, tidak ada pilihan selain tunduk pada apa yang Rasulullah saw. diutus dengannya, yaitu Al-Qur’an dan sunah meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapannya Baginda Nabi Muhammad saw.
Nyata, Islam tidak mengenal adanya moderasi. Toleransi yang disyariatkan Islam pun kenyataannya berbeda dengan moderasi. Bagimu agamamu, bagiku agamaku tentu tak berarti harus mengakui semua agama itu sama. Terutama bagi umat muslim yang meyakini janji Allah Swt. akan Islam yang diturunkan sebagai rahmat untuk seluruh alam semesta. Asalkan kaffah diterapkan.
Wallahua’lam bishowwab.