Memperingati Maulid Nabi Tetapi Tidak Taat Syariat Kafah?
Memperingati Maulid Nabi Tetapi Tidak Taat Syariat Kafah?
Oleh : Ummu Zhafran
(Pegiat Literasi)
LenSaMediaNews.com – Memasuki Rabiul awal, semarak peringatan Maulid Baginda Nabi saw. digelar. Umat Islam pun seakan berlomba-lomba menyelenggarakan dengan meriah. Hingga di penghujung bulan, masih ada saja yang mengadakan, baik dalam bentuk ceramah, taklim maupun membaca sirah Nabi. MasyaAllah, shalawat serta salam memang selayaknya tidak henti-henti kita sampaikan pada sosok mulia, manusia pilihan utusan Allah swt. Tanpa Beliau, bagaimana mungkin Islam sampai pada kita?
Maka memperingati kelahiran Nabi sejatinya upaya kita untuk terus menerus mengingat dan mengkaji sejarah hidup dan perjuangan dakwah Rasulullah saw. Namun tak cukup hanya itu, melainkan juga untuk mengikuti dan meneladani segala yang datang darinya, baik perkataan, perbuatan dan diamnya Beliau. Bukankah Baginda Rasul saw. memang diutus sebagai qudwah / teladan seluruh manusia, tanpa kecuali? Bahkan tak tanggung-tanggung, taat dan patuh pada risalah yang dibawa Beliau jadi indikator utama keimanan seorang muslim.
Allah Swt. berfirman,
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An Nisa: 65)
Terkait ayat di atas, Imam Syafi’i dalam kitabnya Ar-Risalah menjelaskan bahwa hukum yang disampaikan Rasulullah sama dengan hukum Allah, maka orang yang menaati Rasulullah sama dengan menaati Allah. Banyak pula ayat maupun hadis lainnya yang senada. Salah satunya,
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS An Nisa: 80)
Melalui ayat-ayat tersebut Allah menyeru manusia agar
mengikuti ajakan Rasulullah. Ajakan yang akan memutuskan perkara di antara mereka sebab hal itu juga merupakan ajakan kepada hukum Allah. Apabila mereka menerima hukum Rasulullah maka di saat yang sama hakikatnya mereka juga menerima hukum Allah. Demikian pula sebaliknya bila menolak ketetapan Rasulullah berarti membangkang terhadap syariat Allah Swt.
Nabi saw. bersabda,
“Aku telah meninggalkan dua perkara. Kalian tidak akan pernah tersesat selama-lamanya jika kalian berpegang teguh pada kedua. (Kedua perkara itu) Kitabullah (al-Quran) dan Sunnah Nabi-Nya (al-Hadis).” (HR Malik)
Dengan sendirinya, wajib bagi umat Islam menyandarkan segala aktivitasnya pada apa yang dikandung keduanya. Tengok sejarah, nampak jelas Islam bukan hanya mengurusi urusan individu tetapi juga hidup bernegara. Bahkan sejak awal Rasulullah telah mengisyaratkan adanya kehidupan bernegara dengan Khalifah sebagai pemimpin melalui sabda Beliau,
“Dahulu Bani Israil diatur hidupnya oleh para nabi, setiap seorang nabi meninggal, dia digantikan oleh nabi lainnya, dan sesungguhnya tidak ada nabi setelahku. Dan akan ada para khalifah dan jumlah mereka akan banyak.” (HR Muslim, no 1842)
Maka sejarah pun merekam pula pasca wafatnya Nabi, mewujud eksistensi kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah lanjut yang terakhir, Utsmaniyah. Di bawah naungan kekuasaan Islam, umat hidup makmur dan sejahtera dengan kemakmuran dan kesejahteraan yang tidak bisa ditandingi oleh peradaban mana pun sepanjang kehidupan dunia.
Sayang sungguh disayang, kini umat justru berpaling dari Islam. Kalau pun melaksanakan, terbatas pada aspek ibadah spiritual saja. Seolah Islam absen mengatur aspek lainnya seperti politik, ekonomi, pemerintahan, militer, pendidikan, pergaulan, dan semua yang lainnya.
Sebaliknya, demokrasi kapitalisme yang bersandar pada paham sekularisme. Paham yang tidak membiarkan syariat diterapkan. Bahkan dipandang seolah bagai dewa penyelamat dalam kehidupan umat manusia. Padahal meninggalkan syariat Islam seperti yang dicontohkan Nabi saw. justru membuat masalah demi masalah tak henti merundung umat. Sebut saja pergaulan bebas, penyimpangan seksual hingga penistaan agama. Tak luput pula dikuasainya beragam sumber daya alam oleh swasta asing maupun lokal serta keberadaan oligarki yang melakukan praktik monopoli, penimbunan dan kartel atas kebutuhan vital di tengah masyarakat. Hingga konflik agraria yang berujung pada penguasaan lahan milik rakyat oleh pihak asing.
Seluruh hal tersebut harusnya lebih dari cukup untuk menggugah kesadaran kita akan pentingnya kembali pada syariah yang dibawa Nabi saw. Konsekuensinya, Islam harus diterapkan secara kafah alias totalitas. Bukan mengambil sebagian lalu meninggalkan yang lainnya. Bukan pula berhenti sebatas tradisi memperingati hari lahir Baginda Rasulullah saw. Allahumma shalli wa sallim ‘ala Sayyidina Muhammad.
Wallahua’lam bishowwab.