Berulangnya Karhutla, Akibat Kurang Seriusnya Mitigasi Negara
Oleh : Esnaini Sholikhah,S.Pd
(Penulis dan Pengamat Kebijakan Sosial)
LensaMediaNews__Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang kembali terjadi di wilayah Indonesia banyak menimbulkan bahaya bagi rakyat, seperti kenaikan kasus ISPA, dan juga mengganggu kualitas udara negara tetangga (Malaysia). Titik karhutla terjadi hampir di seluruh provinsi Kalimantan, khususnya berada di Kalimantan Barat dengan intensitas titik api sedang hingga tinggi. Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Ully Artha Siagian menyampaikan kejadian karhutla di Kalimantan yang terus berulang karena Pemerintah tidak serius mengurus Sumber Daya Alam (SDA). “Karhutla ini kejadian yang terus menerus mengulang, akar persoalannya adalah salah urusnya Negara dalam konteks pengelolaan sumber-sumber kehidupan/SDA,” ujar Ully Artha. (Tempo, 20-08-2023)
Tim pengawas dan Polisi Hutan Balai Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan, telah melakukan penyegelan empat lokasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Barat, yaitu lokasi di area PT. MTI Unit 1 Jelai (1.151 Ha), PT. CG (267 Ha), PT. SUM (168,2 Ha), dan PT. FWL (121,24 Ha). Hal ini dilakukan untuk menghentikan meluasnya karhutla. Tim Gakkum KLHK terus memonitor secara intensif lokasi-lokasi yang terindikasi adanya titik api melalui data hotspot. Direktur Jenderal Gakkum KLHK, Rasio Ridho Sani mengatakan, sudah memerintahkan seluruh kantor Balai Gakkum baik di Sumatera maupun Kalimantan untuk terus memonitor serta melakukan verifikasi lapangan (tirto.id, 04-09-2023)
Melihat berulangnya kasus karhutla selama beberapa tahun di Indonesia, situasi ini menunjukkan mitigasi belum berjalan baik dan antisipasif. Berulangnya karhutla disebabkan karena kesengajaan perusahaan/korporasi membakar hutan dan lahan. Eksploitasi hutan besar besaran dimulai sejak terbitnya UU 5/1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan. Sejak UU ini berlaku, penguasa dan korporasi menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Pada mulanya, terbitnya UU tersebut diperuntukkan agar sumber daya hutan memiliki peran memutar roda perekonomian. Oleh karena itu, Pemerintah sangat mengakomodasi segala usaha pengolahan hasil hutan dengan pemberian konsesi hak pengusahaan hutan, hak pemungutan hasil hutan, hingga konsesi hutan tanaman industri.
Alih-alih mendongkrak perekonomian negara, pada akhirnya hutan Indonesia dikuasai korporasi dengan nama eksploitasi besar besaran yang berakibat memunculkan konflik sosial dan bencana ekologis. Meskipun Pemerintah menetapkan sejumlah kebijakan dalam pengelolaan hutan, tetapi hal itu berjalan formalitas. Faktanya, tuntutan negara kepada koporasi yang terlibat dalam karhutla tidak berarti apa-apa dan kerusakan hutan makin meluas akibat pembukaan lahan dan pengalihan fungsi lahan.
Sebagaimana asas kapitalisme, “Modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya,” maka bagi para kapitalis, pembakaran hutan adalah cara termurah untuk membuka lahan baru meski berdampak kerusakan lingkungan. Mereka tidak peduli cara ini bisa merusak lingkungan, dan masyarakat akan terkena imbasnya, akibat kepulan asap hasil karhutla. Pun penegakan hukum terhadap pihak pihak yang mengeksplotasi hutan tampak tumpul. Negara tidak berdaya melawan korporasi, padahal perencanaan terhadap hutan sejatinya dimulai dari kebijakan penguasa yang memberikan jalan kepada korporasi melalui konsesi hutan.
Ini jelas berbanding terbalik dengan paradigma Islam. Nabi SAW bersabda, “Manusia berserikat dalam kepemilikan atas tiga hal yakni, air, padang gembalaan, dan api.” (HR Imam Ahmad). Dalam hadist ini menunjukkan bahwa hutan adalah kepemilikan umum yang berarti tidak boleh dikuasai individu maupun koorporasi/swasta. Islam memerintahkan kepemilikan umum ini hanya boleh dikelola negara dan hasilnya menjadi hak rakyat untuk dimanfaatkan. Negara tidak boleh memberikan kewenangan pengelolaan kepada swasta.
Adapun dalam aspek pengelolaan lahan, setiap individu boleh memiliki lahan sesuai jalan yang dibenarkan syariat. Pemilik lahan harus mengelola lahannya secara produktif, tidak boleh ditelantarkan lebih dari tiga tahun. Jika dibiarkan lebih dari tiga tahun, status lahan berubah menjadi tanah mati. Kemudian negara akan memberikannya kepada siapa yang bisa menggarap tanah tersebut. Selain itu, pengelolaan lahan tidak boleh dengan melakukan pembakaran atau merusak ekosistem.
Negara dalam Islam akan mengembangkan kemajuan iptek di bidang kehutanan agar pengelolaan hutan dan lahan dapat dioptimalkan sebaik mungkin tanpa harus mengganggu dan merusak ekosistem. Negara juga akan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku perusakan alam dan lingkungan dengan sanksi hukum yang berefek jera. Maka penyelesaian karhutla dan keseriusan mitigasi negara dalam Islam akan tuntas dengan penerapan sistem Islam kaffah. Wallahu a’lam bishshawab