Berulangnya Konflik Agraria, Mandulnya Peran Negara

Oleh : Yuke Octavianty

(Forum Literasi Muslimah Bogor)

 

Lensa Media News – Klaim kepemilikan suatu wilayah, seringkali memicu konflik agraria. Penguasaan atas tanah dan penguasaan sumberdaya alam yang ada menjadi masalah mendasar dalam hal ini.

 

Konflik Agraria Dipicu Buruknya Konsep Kepengurusan

Beragam konflik agraria terus bermunculan dan berulang. Selama Proyek Strategis Nasional (PSN) digencarkan, setidaknya dilaporkan ada 73 kasus konflik agraria yang terjadi dalam rentang waktu delapan tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (CNNIndonesia.com, 24/9/2023). Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), Dewi Kartika.

Dewi pun melanjutkan, konflik agraria itu yang kini marak terjadi, umumnya terjadi di seluruh sektor pembangunan, mulai dari pertanian, tambang, hingga pembangunan properti. Beberapa diantaranya adalah proyek pembangunan sirkuit Mandalika Nusa Tenggara Barat (NTB), pembangunan tol Padang-Pekanbaru, Bendungan Bulango Ulu Gorontalo, proyek kawasan ekonomi khusus di Gresik, serta pembangunan PLTA di Pinrang. Dan masih banyak lagi kasus agraria yang merampas tanah hak milik rakyat. Tak ayal, di sebagian wilayah, begitu banyak rakyat yang terbakar emosi karena tanah yang selama ini ditinggali, terpaksa ditinggalkan demi mensukseskan program PSN.

Salah satunya kasus Pulau Rempang dan Pulau Galang. Status Rempang yang dikelola oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam. Lembaga pengelola semacam ini akan berdampak buruk bagi rakyat setempat. Sikap sewenang-wenang dalam kekuasaan dan banyaknya kasus korupsi agraria. Hal ini marak terjadi karena lembaga tersebut mengantongi begitu banyak kewenangan atau legalitas perizinan dan aset negara.

Dewi pun mengungkapkan, inilah praktik domein verklaring tanah hutan terhadap tanah dan perkampungan warga. Konsep ini berujung pada penggusuran dan pematokan tanah secara paksa oleh pemerintah. Domein verklaring merupakan klaim kepemilikan tanah oleh negara, atas tanah rakyat yang tak memiliki dokumen atas suatu kepemilikan.

Padahal secara konstitusi, konsep ini telah dilarang karena bertentangan dengan asas kesadaran hukum.

Kasus agraria serupa juga terjadi di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Unjuk rasa massa berujung pada pembakaran kantor Bupati Pohuwato. Konflik ini dipicu adanya permintaan ganti rugi lahan ke perusahaan tambang emas yang berakhir ricuh (liputan6.com, 21/9/2023). Persoalan ini diawali saat penambang emas lokal menuntut supaya perusahaan mengembalikan lokasi warisan leluhur yang sudah digarap selama bertahun-tahun. Warga meminta perusahaan agar menghentikan kegiatan penambangan. Tak hanya itu, masyarakat pun menuntut penyelesaian sengketa dan ganti rugi lahan yang sudah digarap oleh perusahaan.

Kasus-kasus agraria sering terjadi dan terus berulang. Semua ini menandakan bahwa setiap kebijakan yang ditetapkan negara tidak berdasarkan kepentingan rakyat. Inilah kezaliman yang nyata. Kepentingan rakyat dipinggirkan. Rakyat dipaksa mengalah demi kepentingan korporasi yang bernafsu untuk melakukan investasi.

Korporasi seringkali menjadi bagian utama yang langsung terlibat dalam konflik agraria. Parahnya lagi, tangan pemerintah-lah yang memberikan legalitas perizinannya, tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat setempat.

Negara tak memiliki fungsi sebagai penjaga rakyat. Kebijakan yang ada pun hanya tersedia demi kelanggengan oligarki korporasi.

Betapa buruknya tata kelola ala sistem kapitalisme. Sistem yang hanya mengutamakan keuntungan materi. Asasnya berupa sekulerisme. Yakni pemisahan aturan agama dalam kehidupan. Dengannya rakyat makin terzalimi. Hak rakyat dirampas demi hawa nafsu yang seketika itu harus dipenuhi. Alhasil, rakyat jadi korban.

Sistem Islam, Adil dalam Konsep Agraria

Sistem Islam, satu-satunya konsep yang mengatur masalah agraria dengan adil dan bijaksana. Demi terpenuhinya kepentingan masyarakat.

Dalam Islam, setiap kebijakan selalu disandarkan berdasarkan prioritas kepentingan rakyat. Dan setiap keputusan pemimpin wajib bersumber dari akidah Islam.

Rasulullah SAW. bersabda “Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka neraka tempatnya.”(HR. Ahmad)

Dalam Islam, pengaturan tentang hak milik rakyat diatur adil. Syariat Islam menerapkan 3 unsur kepemilikan lahan. Pertama, lahan milik rakyat. Kedua, lahan milik negara. Ketiga, lahan milik umum.

Lahan milik rakyat haram hukumnya dijadikan hak milik negara. Karena akan menimbulkan kesengsaraan. Seperti saat ini.

Segala bentuk privatisasi ataupun legalisasi pihak swasta terhadap suatu suatu wilayah, dilarang tegas oleh negara. Pelanggaran yang terjadi akan disanksi dengan sanksi tegas yang menimbulkan efek jera.

Betapa sempurna pengaturan kehidupan yang mengintegrasikan aturan agama dalam kehidupan. Rakyat sejahtera, jauh dari sengsara.

Wallahu a’lam bisshowwab

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis