Muslim Tanpa Politik Identitas, Anda Serius?

Oleh: Ummu Zhafran

pegiat literasi

 

Lensa Media News-Lagi ramai soal politik identitas. Sepertinya sudah jadi tradisi di tahun-tahun politik jelang Pemilu. Bukankah lazim pemandangan sosok politisi yang mendadak berubah gaya penampilan menonjolkan identitas muslim? Ada yang tiba-tiba berpeci, atau berjilbab rapi bagi yang wanita, lalu berkunjung ke masjid dan pesantren. Tak sedikit pula yang seketika mengimami salat, tampil berwudu dengan baju Koko yang rapi dalam tayangan azan di televisi hingga yang terbaru, tahu-tahu menyikat lantai tempat wudhu bak marbot penjaga masjid.

 

Masya Allah, sebagai saudara seiman, tentu layak apresiasi diberikan. Toh, bagaikan peribahasa, dalamnya laut dapat diduga dalamnya hati siapa yang tahu, prasangka baik harus dikedepankan. Bahwa semua dilakukan tulus ikhlas tanpa pamrih mendulang suara umat Islam yang mayoritas di negeri ini. Tak lupa doa dipanjatkan semoga diterima sebagai amal saleh di sisi Allah Swt.

 

Terlepas dari perkara niat dan kepentingan, mencermati apa yang berlaku, satu hal yang harus diakui bahwa Islam dan politik mustahil dipisahkan. Meski yang tampak baru sebatas simbol, namun terbukti sangat sukar bagi seorang muslim meninggalkan identitasnya. Sehingga bagaimana mungkin meminta umat menolak mentah-mentah segala hal yang mengaitkan Islam dengan proses politik yang kini sedang berlangsung?

 

Seperti yang dihimbau salah seorang pejabat publik selevel menteri di negeri ini. Seolah Islam dituduh jadi alat politik identitas sehingga kehilangan hak untuk dijadikan rujukan dalam hal politik dan kekuasaan. Maka meminjam bahasa gen-Z, hanya satu kata untuk himbauan tersebut. Bersyaaandaaaa

 

Sungguh ambigu terjadi di negeri yang konon demokratis. Katanya menjunjung tinggi kebebasan berpendapat tapi menolak bila Islam yang disodorkan sebagai bagian dari aspirasi umat. Pun di satu sisi menuduh Islam jadi alat politik identitas sehingga harus dijauhi namun di sisi yang lain ramai politisi mempraktikkan politik identitas tersebut. Mereka rela memakai peci, baju koko, kerudung, atau berkunjung di tempat ibadah seperti masjid jelang pemilihan.

 

Meski tak ada salahnya melakukan semua itu, namun yang disayangkan adalah ketika kekuasaan didapat, bukan hanya simbol-simbol itu ditanggalkan, bahkan Islam dan umat Islam yang semula didekati lalu dilabeli stigma radikal, intoleran, dan sebagainya hingga dimusuhi. Ambyar bukan?

 

Padahal mengutip penjelasan seorang cendekiawan muslim, Ustadz H. Ismail Yusanto, bagi seorang Muslim sudah sewajarnya, bahkan harus menjadikan Islam sebagai dasar dalam berpolitik, karena Islam memang tidak bisa dipisahkan dari politik. Jika politik adalah pengaturan urusan rakyat maka pengaturan yang baik itu tentu berdasar Islam.

 

Sekali pun politik diartikan sebagai seni meraih kekuasaan, maka cara untuk meraih kekuasaan juga haruslah sesuai dengan ajaran Islam. Ketika kekuasaan diraih, harus pula digunakan untuk dan dijalankan sesuai ajaran Islam pula. Inilah yang dinamakan islamisasi politik bukan politisasi Islam seperti yang tampak dalam perilaku politisi di atas (Alwa’ie.net,2022)

 

Lebih jauh lagi, mari renungkan firman Allah Swt. berikut,“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”(QS. Adz-Dzariyat: 56)

 

Terkait ayat di atas Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya agar memerintahkan mereka untuk beribadah semata kepada Allah, bukan karena Allah membutuhkan mereka. Tetapi agar mereka mengakui posisi sebagai hamba Allah yang harus taat baik dengan sukarela maupun terpaksa.

 

Dalam hal ini pastinya termasuk dalam hal politik. Karena risalah Islam meliputi seluruh aspek kehidupan. Maka bagi muslim, berpolitik juga bagian dari ibadah yang berpotensi mendatangkan pahala maupun dosa. Kelak juga tak luput dari hisab di akhirat beserta amal yang lainnya.

 

Sehingga bisa dikatakan secara gamblang, Islam bagi seorang muslim adalah identitas yang sangat serius, penting dan bermakna amat mendalam. Salah satu maknanya ditunjukkan dengan adanya kepedulian terhadap problematik negeri kemudian memandang syariah kafah sebagai satu-satunya solusi. Bukannya sekedar berpenampilan alim tapi kemudian tak peduli kesengsaraan yang menimpa rakyat dari hari ke hari.

 

Mukmin sejati pastinya yakin, kepedulian juga perwujudan ketaatan kepada Sang Pencipta. Berdasar dari sebuah keyakinan, bahwa dengan syariah Islam yang kafah diterapkan maka berbagai masalah krusial yang dihadapi negeri ini, juga dunia, akan bisa teratasi dengan baik. Rahmatan Lil Al-Amin pun niscaya menjelma nyata sebagaimana janji Allah Swt. Ini serius, sama sekali bukan canda. Wallaahua’lam. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis