Ketika Kereta Tak Lagi Ekonomis
Lensa Media News-Sempat terbersit pertanyaan, menapa dahulu kereta yang terkenal sebagai moda transportasi ekonomis, sekarang kok tidak. Tahun 2014, tiket kereta Matarmaja dari Tulungagung ke Jakarta berkisar Rp70-80 ribu. Kini harga tiket kereta yang sama jadi Rp200 ribu. Ternyata ini disebabkan pencabutan subsidi kereta ekonomi tahun 2019, untuk kereta api jarak jauh kelas ekonomi, termasuk KA Matarmaja.
Subsidi malah diberikan untuk pengguna kereta cepat. Setelah proyek kereta cepat terlaksana, pemerintah memberikan subsidi dengan harapan kereta cepat makin diminati masyarakat, sehingga bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan kemacetan.
Kalau kita hitung secara kasar, berapa persen rakyat menengah ke bawah yang dapat menikmati kereta cepat? Subsidi ini tak tepat sasaran jika penggunanya bukanlah mayoritas rakyat. Apalagi proyek kereta cepat menghabiskan biaya yang tak sedikit, lantaran pengerjaannya molor, sehingga biayanya membengkak.
Kereta cepat ini tidak banyak dirasakan manfaatnya oleh rakyat, karena untuk menggunakannya, rakyat harus merogoh saku lebih dalam, karena meski sudah disubsidi, namun masih mahal. Bisa diibaratkan rakyat sebagai buyer, sedangkan negara sebagai seller. Karena negara ingin untung, maka dicabutlah subsidi kereta ekonomi untuk rakyat menengah ke bawah dan mengalihkan subsidi untuk kereta cepat.
Padahal kita tahu bahwa ini bukanlah proyek yang urgen dan mendesak. Sebenarnya masih banyak jenis transportasi Jakarta-Bandung yang bisa digunakan dengan mudah, hanya saja perlu dibenahi sarana dan pelayanannya.
Dalam sistem kapitalistik yang diterapkan di negeri ini, hanya mengutamakan kepentingan korporat (pengusaha bermodal besar). Transportasi yang merupakan salah satu fasilitas umum seharusnya murah atau gratis, agar mudah diakses rakyat malah ditarif mahal, demi keuntungan mereka. Semuanya kembali pada prinsip no free lunch. Tidak ada yang diberikan secara percuma untuk rakyat, semuanya berbayar.
Islam memandang transportasi publik sebagai fasilitas yang harus negara berikan kepada rakyat secara mudah dan murah, bahkan gratis. Sarana publik tidak boleh dibangun dengan utang atau pinjaman asing. Negara membangun infrastruktur publik secara mandiri untuk memenuhi hajat rakyat.
Pembangunan infrastruktur bersandar pada prinsip riayah su’unil ummat.Untuk pengelolaan dan pembiayaan harus diambil dari kas negara, Baitul mal. Jika dana Baitul mal tidak mencukupi, negara bisa memungut dharibah (pajak) dari masyarakat muslim yang kaya dan sifatnya insidental.
Dengan prinsip ini, negara mampu membangun infrastruktur yang lebih diprioritaskan dan diutamakan. Pembiayaan infrastruktur publik berasal dari Baitul mal sehingga rakyat dapat menikmatinya secara murah, bahkan gratis. Penyediaan sarana publik adalah tugas dan kewajiban negara. Dan ini bisa terwujud dalam sistem pemerintahan Islam. dr.Bina Srimaharani , Praktisi Kesehatan. [LM/ry]