Karhutla, Akibat Salah Kelola?
Oleh: Ranita
LensaMediaNews__Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api. Dan harganya adalah haram. Demikianlah salah satu sabda Rasulullah saw. yang diabadikan dalam hadits Sunan Ibnu Majah nomor 2463. Begitupun dalam hadits Abu Daud nomor 3016, Rasulullah juga bersabda tentang hal senada. Imam As-Sakhrasyi dalam kitabnya, Al-Mabsuth menjelaskan bahwa di dalam hadits tersebut terdapat penetapan berserikatnya muslim dan non muslim dalam pemanfaatan air, padang rumput, dan api.
Karena semua hal itu adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh rakyat banyak, maka Islam menetapkan status kepemilikannya adalah milik umum, dan negara sebagai pengelolanya. Haram hukumnya mengizinkan individu atau swasta untuk memonopoli air yang mengalir, padang rumput termasuk hutan, dan juga sumber energi.
Sebagaimana dosa yang lain, pelanggaran terhadap keharaman privatisasi kepemilikan umum ini tentu menimbulkan malapetaka. Dalam QS Ar-Rum ayat 41 Allah telah berfirman yang artinya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) berulang di Kalimantan jelas menjadi salah satu bukti kontekstual ayat ini. Tak lain tak bukan, agar manusia kembali ke jalan yang benar, yakni mengembalikan pengelolaan hutan sebagaimana yang telah disyariatkan Allah.
Konsesi Biang Masalah
Kebakaran hutan dan lahan gambut di wilayah Kalimantan seolah menjadi ritual tahunan di sepanjang musim kemarau. Selain peningkatan hotspot karena kemarau, pembukaan lahan dengan pembakaran ditengarai menjadi penyebab utamanya. Pembukaan lahan dengan membakar hutan ini banyak dilakukan oleh perusahaan konsesi kawasan hutan karena dapat meminimalisir biaya. Jahatnya lagi, beberapa perusahaan melakukan pembakaran untuk mendapatkan asuransi.
Dalam catatan Walhi, ada 900 perusahaan yang beroperasi di lahan gambut dan hutan tanpa perlindungan lahan secara khusus. Pada kisaran 2015-2019, hotspot karhutla banyak terdapat di konsensi hutan tanaman industri dan hutan alam untuk sawit. Briefing paper yang dikeluarkan Walhi pada Juni 2023 juga mencatat, beberapa perusahaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri yang bertanggung jawab untuk restorasi lahan eks kebakaran tidak menjalankan upaya restorasi secara serius (tempo.co, 20-8-2023).
Sangat jelas, bahwa kebakaran hutan dan lahan yang berulang, bukan sekedar fenomena alam. Ini adalah kejahatan yang disengaja, karena ulah pengusaha yang diberi izin konsesi kawasan hutan oleh penguasa.
Pengelolaan Hutan Tanggung Jawab Negara
Dalam negara yang menjadikan Kapitalisme sebagai asasnya, merupakan suatu kewajaran jika swasta mendapatkan peluang sebesar-besarnya untuk mengelola sumber daya apapun yang mampu dibayar, termasuk hutan. Ketika kapitalis yang mengelola, maka prinsip ekonomi kapitalis: mendapatkan untung sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya akan berjalan. Karena itulah karhutla akan terus berulang.
Satu-satunya jalan yang efektif dan efisien untuk mengatasi karhutla adalah dengan mengembalikan pengelolaan hutan dan lahan kepada negara untuk kemaslahatan rakyat sebagaimana ketentuan Islam. Islam menetapkan, pemanfaatan hutan oleh negara tidak boleh membahayakan kehidupan dan lingkungan. Pemanfaatan hutan harus memperhatikan keberlangsungan hutan sebagai paru-paru dunia.
Islam juga menetapkan, pendapatan negara dari pengelolaan hutan ini masuk ke pos pemilikan umum Baitul Mal. Selanjutnya pendapatan ini wajib dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat secara umum, baik muslim maupun non muslim. Hal ini akan bisa terlaksana secara sempurna sistem ekonomi Islam yang ditopang dengan kekuatan sistem politik Islam, Khilafah, kembali diterapkan. Allahu a’lam.