Harapan Palsu Di Balik Jargon UMKM
Oleh: Erna Marlina Amd.keb
LenSa Media News _ Sebanyak 2000 pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) dari seluruh Indonesia berpartisipasi diperingatan hari UMKM di Pamedan Puro Mangkunegaran. Peringatan ini dilaksanakan selama 4 hari mulai tanggal 10-13 Agustus 2023. Peringatan Hari UMKM ini juga akan dilaksanakan bersamaan dengan UMKM Expo 2023 yang mengambil tema “Transformasi UMKM Masa Depan.” Peringatan ini diharapkan menjadi momentum kebangkitan dan memperkuat UMKM sebagai salah satu pilar penggerak roda perekonomian bangsa (Detik.com 10/8/23).
Pemerintah sering memuji UMKM yang disebut-sebut sebagai tameng pelindung Indonesia dari krisis ekonomi. Selain itu UMKM juga disebut sebagai salah satu pilar terpenting dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan data kementerian koperasi dan UKM jumlah UMKM saat ini mencapai 64,2 juta kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia. Selain membangkitkan perekonomian pasca pandemi covid-19, juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan sampai 120 juta lapangan kerja. Semua ini membuat pemerintah sangat mendukung keberadaan UMKM, bahkan dibuatkan jargon “Pilar dan Penopang Ekonomi.” Tetapi seperti yang kita tahu, tidak pernah ada ketulusan dalam sistem kapitalis yang dianut negeri ini.
Semakin banyaknya UMKM yang sejalan dengan perilaku konsumtif masyarakat Indonesia, dilihat sebagai sesuatu yang menguntungkan perekonomian negara.
Jargon yang dibuat pemerintah tidak bisa dianggap benar karena UMKM hanyalah bagian kecil dari perekonomian bangsa ini. Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai salah satu penopang ekonomi negara. Sebab UMKM adalah solusi sementara dari masalah ekonomi yang sebenarnya.
Negara tidak bisa terus berharap pada usaha ini. Sebesar apa pun peran UMKM, tetap saja UMKM bukan usaha hulu, tetapi hanya hilir. Meski mampu membuka banyak lapangan kerja dan pendapatannya besar, mereka tetap disetir produsen hulu yang dikuasai para kapitalis. Bahkan, bahan dasar UMKM pun dipasok dari produsen hulu itu.
Dorongan kuat dibalik jargon tersebut hanya memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah membangkitkan perekonomian dan gagalnya menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Padahal Sebanyak apapun kemampuan UMKM menyediakan lapangan kerja, angka pengangguran akan tetap meningkat ketika para produsen kapitalis ikut bermain disektor hilir di pasar digital. Dimana produk impor menguasai pasar digital membuat pelaku UMKM terancam bangkrut.
Ini bukti bahwa negara membiarkan rakyat pelaku UMKM bersaing secara bebas dengan pelaku ekonomi bermodal besar. Selama ini negara hanya mampu menjadi fasilitator para penguasa ekonomi yaitu para kapitalis (pemilik modal). Lebih dari itu negara gagal memberi kesejahteraan bagi rakyatnya. Rakyat harus bekerja keras berjuang untuk kesejahteraannya sendiri dengan menjadi pelaku UMKM.
Sedangkan dalam sistem pemerintahan Islam, negara tidak akan menjadikan sektor ekonomi informal seperti UMKM sebagai pilar dan penopang perekonomian. Negara akan mengedepankan dua jenis industri yang membuatnya menjadi negara mandiri dan berdikari. Yaitu industri berat yang memproduksi mesin atau alat persenjataan, seperti senjata kimia, biologi, juga obat-obatan. Yang berikutnya adalah industri pengelolaan harta milik umum, seperti pengolahan minyak bumi, tambang, listrik, dan apa-apa yang menjadi harta milik rakyat. Dalam hal ini negara menjadi pihak yang mengelolanya, kemudian mengembalikan hasil pengelolaan tersebut kepada rakyat.
Dua industri ini saja akan mampu menyerap tenaga kerja yang sangat besar. Dalam Islam juga ada larangan menimbun uang dan akan membuat seorang muslim akan membelanjakan hartanya atau akan berusaha dengan hartanya sehingga peredaran uang akan sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan berjalannya aturan Islam tersebut, dengan sendirinya taraf hidup masyarakat akan meningkat. Perputaran uang terus berjalan, tidak berhenti pada yang kaya pemilik modal saja, sehingga negara tidak perlu bersandar pada UMKM karena perekonomian negara akan kuat.
Wallahu’alam bishawab
(LM/SN)