Pinjol Meningkat, Hidup Semakin Berat
Oleh: Refryanti Monikasari
(Aktivis Muslimah Bandung)
Lensa Media News – Dikutip dari kabarbisnis.com (10/7/2023), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kinerja outstanding pembiayaan fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) pada Mei 2023 mencapai Rp51,46 triliun. Tumbuh sebesar 28,11% year on year.
Dari jumlah tersebut, 38,39% merupakan pembiayaan kepada pelaku UMKM. Jumlah penyaluran kepada UMKM perseorangan dan badan usaha masing-masing sebesar Rp15,63 triliun dan Rp4,13 triliun.
Tingginya pertumbuhan pembiayaan pinjaman online ini menunjukkan fungsi intermediasi yang berjalan dan tingginya kebutuhan masyarakat dan pelaku UMKM akan akses keuangan yang lebih mudah serta cepat dibandingkan melalui perbankan atau perusahaan pembiayaan.
Anggota Dewan Komisioner OJK yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Friderica Widyasari Dewi, mengatakan bahwa individu yang menggunakan pinjol untuk memenuhi kebutuhan konsumtif gaya hidup lebih mudah terjebak dalam kredit macet. Ia menyebutkan kebutuhan gaya hidup itu di antaranya pembelian gawai baru karena mengikuti tren, belanja pakaian terkini, rekreasi ke tempat-tempat terpopuler, hingga membeli tiket konser musik.
Di samping memenuhi kebutuhan gaya hidup, masyarakat yang cenderung menggunakan pinjaman untuk kebutuhan mendesak atau darurat biasanya terjebak juga dalam kredit macet. Salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan berobat.
Bagi UMKM, menurut dia, kesulitan pelunasan terjadi karena salah perhitungan bisnis yang berakibat pendapatan dari penjualan barang atau jasa tak optimal. Jumlah pendapatan yang lebih kecil dari jumlah pinjaman atau jumlah cicilan per bulan menyebabkan pelaku UMKM terjebak dalam kredit macet. Selain itu, Friderica menyatakan bahwa ada peminjam yang terjerat pinjol karena tertipu. “Ada oknum yang mengajak orang lain untuk mengambil pinjaman, lalu diiming-imingi keuntungan atau imbalan dari pinjaman itu,” kata dia.
Kesempitan hidup masyarakat tersebut adalah akibat dari sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Sistem ini melegalkan liberalisasi ekonomi. Alhasil, segala komoditas dibisniskan. Mulai dari pendidikan, perdagangan, hingga kesehatan, sehingga, rakyat kesulitan mengakses kebutuhan asasiyah-nya karena harganya yang mahal.
Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan telah mewarnai kehidupan masyarakat dengan gaya hidup hedonis dan materialis. Masyarakat yang jauh dari pemahaman Islam, tidak lagi memedulikan apakah harta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan asasiyah dan gaya hidupnya diperoleh dari jalan halal atau bertentangan dengan peraturan Allah, seperti pinjol yang disertai riba.
Mewujudkan negara bersih dari riba, membutuhkan peran pemerintah sendiri dalam menjauhi riba. Sistem pemerintahan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak akan membenarkan praktik riba berlangsung.
Untuk mencegah fenomena pinjam-meminjam, negara yang mengikuti aturan Islam akan berupaya memenuhi kebutuhan asasiyah setiap individu rakyatnya melalui penerapan sistem ekonomi Islam, baik dalam mekanisme langsung ataupun tidak langsung.
Dalam mekanisme langsung, kepala keluarga selaku orang yang wajib memberi nafkah untuk keluarganya, dipermudah dan difasilitasi untuk bekerja, baik akses modal (tanpa riba), pelatihan, maupun penyediaan lapangan kerja seluas-luasnya. Jika kepala keluarga tidak mampu memenuhinya, yang wajib membantu adalah kerabatnya. Jika seluruh kerabatnya tidak mampu memenuhi kebutuhannya, kewajiban memberi nafkah jatuh kepada kas negara (Baitulmal). Anggaran yang digunakan untuk individu yang tidak mampu, diambil dari pos zakat.
Adapun mekanisme langsung, negara akan menggratiskan pelayanan-pelayanan dalam pemenuhan kebutuhan asasiyah seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Sehingga, harta masyarakat fokus dipergunakan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan ditambah kebutuhan sekunder ataupun tersiernya.
Di sisi lain, sistem pendidikan Islam akan mencetak masyarakat yang memilki akidah Islam yang kuat dan berorientasi akhirat sehingga amal-amalnya tidak berputar pada bagaimana memenuhi kesenangan duniawi tetapi justru dihiasi dengan amal shalih. Wallahu a’lam. [LM/Ah]