Kritislah dalam Memilih Makanan!

Oleh: Maulinda Rawitra

Pradanti, S.Pd

 

Lensa Media News-Hidup dengan kehidupan yang beragam dan berdampingan dengan non Muslim membuat umat Islam harus berhati-hati dalam memilih makanan. Bukan hanya bahan bakunya, tetapi proses dan penyajiannya juga harus halal.

 

Kesalahan dalam memilih makanan akan berakibat fatal bagi seorang Muslim. Sebab dari makanan itulah akan menjadi darah dan daging bagi tubuh. Tidak boleh seorang Muslim memberikan makanan buruk bagi tubuhnya, tidak boleh juga memilih makanan tanpa mengkritisi kehalalannya.

 

Perkara halal dan haram dalam makanan sudah jelas disebutkan di dalam nash. Bahkan ada satu surat khusus yakni surat Al-Maidah yang berarti hidangan. Ulama telah bersepakat tidak ada illat terkait makanan. Sudah banyak ulama yang mempelajari tentang kekritisan makanan serta turunannya. Banyak food vlogger Muslim yang menjadikan kekritisan pemilihan makanan sebagai ide kontennya.

 

Meskipun informasi sudah tersebar luas, tetap saja ada kebocoran dan kelengahan dalam memilih makanan. Restoran Mamma Rosy yang baru-baru ini viral akibat salah penyajian menjadi bukti bahwa umat Islam perlu belajar dalam memilih dan memilah makanan serta tempat yang menyediakan makanan.

 

Memilih makanan tidak hanya dilihat dari label halal yang diberikan BPJPH atau MUI saja. Karena label halal tersebut harus dicek secara berkala beserta produknya. Beberapa temuan produk makanan telah mencantumkan label halal, tetapi ternyata belum teregistrasi secara sah. Ada restoran juga yang melabeli dirinya resto Muslim, ternyata masih memakai bahan pelengkap yang haram.

 

Ada beberapa titik kritis yang perlu diperhatikan oleh kaum Muslim. Pertama, bahan bakunya. Semua bahan makanan yang akan dimasak harus berasal dari bahan yang halal. Jika bahan bakunya daging, maka dipastikan cara penyembelihannya sesuai syariat Islam, bukan asal mati saja.

 

Jika makanan sudah jelas ada daging yang diharamkan, maka langsung tinggalkan. Namun jika ada istilah asing, maka tanyakan pada produsen makna yang sejenis. Misalnya pork atau B2 sebagai penyebutan selain babi.

 

Kedua, adanya bahan pelengkap. Memang sulit melihat dan merasakan makanan yang bumbunya sudah tercampur. Tetapi sebagai Muslim, harus mampu mengindra bahan pelengkap yang biasa dipakai pada masakan asing. Misalnya sake pada masakan korea, mirin pada masakan jepang, perminyakan pada masakan oriental, dan beberapa bahan khas lainnya. Maka perlu ditinggalkan juga.

 

Ketiga, proses pengolahan dan penyajian. Ini penting disadari kaum Muslim saat membeli makanan di luar rumah. Lihatlah cara pengolahannya, tempat makanannya, alat masaknya, dan hal-hal kecil lainnya yang jarang disadari. Ketika satu restoran menyajikan beberapa menu makanan, dan ternyata ada yang haram, maka sulit sekali percaya pada benda-benda di dalam dapurnya.

 

Misalnya alat masak atau alat makan bekas makanan haram pun harus dicuci sampai tujuh kali yang salah satunya dengan tanah. Dimungkinkan akan sangat ribet bagi restoran melakukan hal tersebut. Maka janganlah memilih restoran yang menyajikan dua status makanan sekaligus.

 

Keempat, minuman yang disajikan. Bukan hanya makanan yang perlu kritis, tetapi minuman juga. Misalkan ada penyajian khamr dan sejenis alkohol dalam bentuk yang lain, maka perlu berhati-hati juga. Karena yang bersanding dengan yang haram, maka yang halal pun tidak murni lagi. Setitik nila, rusak susu sebelanga.

 

Indonesia memang sudah menerapkan aturan dalam menyeleksi produk dan resto yang beredar di masyarakat. Ada penerapan untuk mengharuskan pelaku usaha mempunyai sertifikat halal, pun menuntut pelaku usaha untuk memberikan label “tidak halal” bagi produk makanan atau resto yang menyediakan masakan nonhalal.

 

Nyatanya, aturan tersebut tidak diindahkan bagi sebagian pelaku usaha. Masih banyak produk makanan dan resto yang beredar dan belum memenuhi ketentuan itu. Ini menjadi bukti juga bahwa masih lemahnya pengontrolan negara dan kesadaran masyarakat.

 

Apalagi kesadaran memilih makanan bukan dijadikan sebagai hal yang penting. Asal bisa makan, itu sudah mencukupi kebutuhan mereka, bagaimanapun kondisi dan status makanan itu. Edukasi makanan haram hanya sebatas bentuk utuhnya, seperti babi adalah haram. Tetapi produk turunannya tidak tersampaikan, seperti gelatin, pengental, pengemulsi kue, bahkan kuas kue.

 

Maka negara harus segera turun tangan menjadi garda terdepan dalam mengontrol peredaran makanan dan bahan-bahannya, bukan datang setelah terkuak kasus. Urusan umat memang banyak dan menyita waktu serta pikiran para pemimpin. Namun memang begitulah tugas seorang pemimpin, yakni memastikan kemaslahatan rakyatnya.

 

Oleh karena itu, Negara yang mampu memastikan semua kemaslahan umat, termasuk kehalalan makanan, hanyalah negara yang paham atas syariat Islam dan menjadikan urusan umat sebagai prioritasnya. Bukan negara yang sekuler dan kapitalistik, yang membebaskan peredaran makanan tanpa mengontrol siapa pembuatnya dan apa bahan-bahannya secara detail. Wallahu a’lam bishshowab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis