Fandom K-pop Sadarlah, Kalian Dieksploitasi!

Oleh: Ukhti SWD

Lensa Media News – Tidak dimungkiri Korean Wave berhasil menjadi fenomena global dengan berbagai produk yang terdiri dari musik (K-pop), drama (K-drama), film (K-film), fesyen (K-fashion), makanan (K-food), dan kecantikan (K-beauty). Produk tersebut terbukti mampu menyedot perhatian dunia, termasuk Indonesia dengan fandom yang luar biasa jumlahnya.

Contohnya di laman Twitter IMe Indonesia sebagai promotor konser bertajuk ‘SUGA | Agust D TOUR IN JAKARTA’ bercuit bahwa Indonesia menjadi pembuka konser di Asia dan akan menyelenggarakan konser selama 3 hari pada 26-28 Mei 2023 di ICE BSD, Tangerang. Gayung pun bersambut. Antusiasme besar Army sebagai fandom (penggemar) terbesar dari Boyband BTS atas launching konser Suga Rapper BTS sendiri sukses viral di berbagai media sosial.

Konser tur dari negeri Ginseng sudah kesekian kalinya digelar di Indonesia. Tidak hanya member BTS namun pada Sabtu (11/3) konser Blackpink bertajuk “Born Pink” sukses mengguncang GBK Stadion. Fandom dari Blackpink yaitu Blink pun berbondong-bondong memadati konser tersebut.

Animo masyarakat yang besar termasuk para fandom telah menjadi tren. Tidak hanya BTS yang memiliki fandom. Bermunculan juga fandom K-pop seperti Blink fandom dari Blackpink, Moa fandom dari TXT, Nctzen fandom dari NCT, dan seterusnya. Terbentuknya fandom tersebut membuktikan bahwa produk Korean Wave berhasil menjadi bagian kehidupan masyarakat di Indonesia.

Namun di balik besarnya animo terhadap K-pop, banyak fandom tidak menyadari bahwa mereka telah dieksploitasi. Mengapa demikian?

Pertama, fandom dieksploitasi sebagai penggemar sekaligus pasar yang berjumlah jutaan. Menurut studi yang dilakukan agregator e-commerce iPrice Group mengungkap bahwa seorang penggemar setia bisa menghabiskan hingga US$1.400 atau sekitar Rp 20 juta (kurs Rp 14.362/US$) per tahun untuk membeli album, merchandise resmi, dan tiket konser. Bayangkan keuntungan yang didapatkan dari jutaan fans? Tentu ini luar biasa.

Kedua, delusi pun telah merasuk pada fandom K-pop fanatik yang berjumlah jutaan. Fandom tersebut menderita delusi dan pemujaan berlebihan yang membuat mereka memiliki loyalitas pada idola yang menjadi “berhala-berhala” mereka.

Seperti konsumerisme di kalangan penggemar K-pop berkorelasi erat dengan kecintaan grup K-pop tersebut. Teorinya, semakin banyak album dan merchandise yang dimiliki seorang penggemar, maka ini menjadi bukti semakin besar cinta mereka pada grup K-pop kesayangan. Padahal K-pop tidak lebih dari sekadar alat penjajahan Barat berkedok wajah ketimuran yang berdampak langsung terhadap umat Islam. Negara muslim ditargetkan sebagai pasar terbesar untuk industri K-pop, termasuk Indonesia.

Berbahayanya K-pop pada generasi muslim selain pada gaya hidup konsumerisme, mereka pun telah kehilangan jati diri dengan hanya mengikuti tren saja dan akhirnya mudah disetir oleh kepentingan kaum kapitalis.

Sayangnya, seluruh negara di dunia telah menerapkan sistem kapitalisme termasuk Indonesia. Sistem yang sukses mengabaikan hak rakyat yang dinaunginya. Karena pada dasarnya sistem kapitalisme menganut asas keuntungan semata. Jadi selama negara mendapatkan kucuran dana maka tidak peduli meskipun generasi yang menjadi taruhan.

Maka slogan “pemuda adalah penerus bangsa” telah pupus, karena generasi telah terlena oleh sajian Barat. Sehingga kebangkitan generasinya semakin jauh dari harapan. Bagaimana tidak, apa yang bisa diharapkan dari generasi yang hanya sibuk pada pemujaan berlebihan pada idola-idola mereka. Apa pun yang ada pada diri sang idola adalah kebaikan, sebab tidak ada lagi syariat Islam sebagai takaran dalam penilaian.

Akhirnya, inilah kapitalisme yang telah berhasil membuat generasi muslim menjadi sekuler seperti yang terjadi di zaman sekarang. Muslim tapi memuja idola secara berlebihan. Apa pun yang dilakukan idol, mereka anggap benar dan lain sebagainya. Mereka benar-benar menjauhkan agama dari kehidupan. Miris.

Maka dari itu kunci untuk mengurai permasalahan tersebut tidak lain adalah kembali pada Islam baik secara individu, masyarakat, bahkan negara sekalipun. Islam memiliki standar jelas mana yang halal dan yang haram, dosa dan pahala. Sehingga generasi muslim memiliki visi-misi yang bersandarkan pada syariat Islam.

Untuk itulah wajib diterapkan sistem Islam dalam kehidupan. Lalu mencampakkan sistem kapitalisme. Dengan demikian negara memiliki wewenang untuk memahamkan generasi muslim terhadap pemahaman bahwa manusia hidup ada misi yang harus diemban, ada tujuan yang harus dicapai, serta tempat berlabuh yang abadi sehingga tidak menyia-nyiakan apa yang telah Allah berikan.

Mengejar ketakwaan adalah kunci, tujuan hidup hanya tunduk pada hukum Allah saja. Ketakwaan tentu hanya bisa didapatkan saat generasi mau mengkaji Islam. Jika generasi muslim paham bahwa menuntut ilmu (Islam) adalah kewajiban setiap muslim, maka arah kebangkitan Islam akan semakin jelas. Dengan begitu cita-cita agar Islam kembali menguasai dunia akan segera terwujud. Aamiin.

Wallahu a’lam bishshawab. (LM/Ah)
Please follow and like us:

Tentang Penulis