Korban Jadi Tersangka, Bukti Cacatnya Penegakan Hukum di Indonesia
Oleh : Pebyanti
Lensa Media News – Miris, baru-baru ini ramai pemberitaan kecelakaan lalu lintas yang menimpa Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia (UI) bernama lengkap Muhammad Hasya Atallah Saputra. Hasya-begitu ia akrab disapa- tewas ditabrak pensiunan polisi Purnawirawan Polri AKBP Eko Setio Budi Wahono. Berita ini menuai sorotan, sebab mahasiswa UI tersebut menjadi tersangka, sedangkan ia sudah meninggal dunia.
Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Latif Usman menuturkan, korban merupakan penyebab dari kecelakaan tersebut, karena lalai dalam berkendara. Pihak kepolisian juga mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), karena korban sudah meninggal dunia. Hal ini tentunya menjadi sebuah kejanggalan yang ramai dibicarakan.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menuturkan, polisi keliru, orang yang sudah meninggal itu berhenti sebagai subjek hukum. karena itu, tidak bisa lagi dilekatkan status apa pun, termasuk tersangka. Ia menuturkan, polisi seharusnya menetapkan orang yang masih hidup sebagai tersangka, karena ketidak hati-hatiannya menyebabkan kematian orang lain.
Fakta di atas menyadarkan kita bahwasanya hukum yang berada di negeri ini tidak memihak kepada orang-orang kelas bawah. Tumpul keatas tajam kebawah. Penetapan korban jadi tersangka justru membuktikan cacatnya penegakan hukum di Indonesia.
Inilah realitas hukum di negeri ini. Aneh tapi nyata. Aparat kerap tidak objektif dalam menangani sebuah kasus sehingga menghasilkan kesimpulan yang keliru. Latar belakang pelaku yang merupakan mantan kapolsek diduga berpengaruh terhadap penanganan kasus ini sehingga aparat sekan enggan mengusut kasus ini dengan akurat.
Hal ini merupakan buah dari sistem kapitalisme demokrasi yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya diletakan di masjid-masjid atau di tempat ibadah Tidak dijadikan pedoman untuk mengatur kehidupan manusia. Akhirnya aturan yang berlaku dalam kehidupan adalah aturan buatan manusia, yang mudah untuk diperjualbelikan dan dinegosiasi sesuai dengan kepentingan mereka yang bermodal.
Berbeda dengan hukum Islam yang sangat menjunjung tinggi supremasi hukum. Semua orang sama. dimata hukum. Muslim maupun non-muslim, kaya-miskin, laki-laki ataupun perempuan tidak ada perbedaan jika mereka melakukan kesalahan terlebih jika mencederai hak orang lain apalagi sampai menyebabkan kematian.
Islam tidak memberi ruang adanya diskriminasi, kekebalan hukum atau hak istimewa bagi seseorang atau sekelompok orang tertentu. Siapapun yg melakukan tindak kriminal dan pidana akan mendapat hukuman sesuai dengan jenis pelanggarannya.
Sebagaimana firman Allah yang tertulis dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 8 :
”Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan karena Allah.…”
Hal ini juga selaras dengan penegakkan hukum yang dilakukan pada masa Rasulullah. Kala itu ada seorang wanita bangsawan dari Bani Makhzum melakukan pencurian. Para bangsawan mereka meminta kepada Usamah bin Zaid agar membujuk Rasulullah saw. untuk meringankan hukuman. Mendengar hal itu, Rasulullah saw. menjadi murka, kemudian beliau bersabda :
“Sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah tatkala ada orang yang terhormat mencuri, mereka biarkan. Sedangkan jika orang lemah yang mencuri, mereka menegakkan had atas dirinya. Demi Zat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” (HR Bukhari)
Inilah bukti bahwa hukum Islam berhasil mewujudkan keadilan.
Wallahu ‘alam
[LM/nr]