Ekspor Semakin digencarkan, Siapa yang diuntungkan?
Oleh : Watini (Pemerhati Masalah Publik)
Lensa Media News – Menjadi negeri yang mandiri dan antikrisis ekonomi merupakan impian yang ingin diraih. Tak heran jika pemerintah pusat maupun daerah berupaya untuk memajukan perekonomian. Salah satu jalan yang ditempuh ialah mengadakan kerja sama antarnegara. Semisal ekspor dan impor SDA yang ada. Namun, apakah dengan hanya fokus mengadakan ekspor maupun impor akan mampu membawa kesejahteraan? Atau malah menjadi petaka bagi rakyatnya?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) nilai ekspor ke China – Tiongkok mencapai 556,27 juta USD disusul India yang mencapai 10,90 juta USD. Menurut kepala BPS Sultra, Agnes Widiastuti, Komoditi yang selama ini menjadi andalan Sulawesi Tenggara untuk sektor ekspor adalah besi dan baja serta bermacam hasil laut. Dimana untuk nilai ekspornya itu sendiri, pada periode Oktober 2022 telah mencapai US$ 569,84 juta atau naik 3,04 persen dibanding ekspor September 2022 yang tercatat US$ 553,02 juta (mediakendari.com, 01/12/2022).
Meningkatnya nilai ekspor ini tak signifikan dengan kesejahteraan rakyat di wilayah tersebut. Pemenuhan pemasokan kebutuhan masih menjadi PR besar bagi penguasanya. Padahal konon katanya, ekspor-impor memberi banyak keuntungan bagi yang melakukannya. Seperti menambah devisa, memperluas pasar, meningkatkan produksi, menghindari persaingan lokal dan menghindari monopoli. Faktanya, pihak yang paling banyak mendapat untung dari kegiatan ekspor-impor adalah para korporasi.
Sistem kapitalisme memberikan seluas-luasnya kepada para korporasi untuk menguasai kekayaan alam negeri ini dan memperkaya diri sendiri. Sementara negara hanya mendapatkan sedikit royalti dan pajak untuk dinikmati seluruh rakyat. Tentu ini ketidak-adilan yang begitu nyata. Apalagi yang diekspor adalah besi, baja dan hasil laut yang nilainya begitu fantastis jika keuntungannya diserahkan kepada kepentingan rakyat. Hal ini jelas bertolak belakang dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mestinya pemerintah berkaca, apa yang menyebkannya hanya bisa melakukan ekspor bahan mentah terus menerus dan bukan dikelolah oleh negara sendiri? Apakah benar karena ketidakmampuan SDM mengelola kekayaan alam? Jika ketidakmampuan SDM, rasanya sulit dipercaya. Sebab, sebenarnya banyak SDM unggul yang belum diberdayakan dengan baik dan tepat. Justru kemampuan merekalah yang cenderung diabaikan.
Dengan kekacauan sistem pengelolaannya, tampaknya utopis jika ingin menikmati SDA secara gratis dalam sistem kapitalis. Dan ini sangat berbeda dalam sistem Islam. Syariat Islam memandang kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Negara berkewajiban mengelola kepemilikan umum ini. Hasilnya diserahkan kembali kepada rakyat dalam bentuk pelayanan umum, seperti pendidikan, kesehatan, trasnportasi, telekomunikasi, dan infratsruktur secara gratis. Sehingga haram hukumnya menyerahkan kepemilikan umum kepada individu, swasta, atau asing.
Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.,
“Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah).
“Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli: air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah)
Islam memiliki prinsip-prinsip baku dalam tata kelola kekayaan milik umum. Pertama, mengklasifikasi jenis harta. Dalam Islam, kepemilikan harta dibagi menjadi tiga, yaitu (1) kepemilikan individu; (2) kepemilikan umum; dan (3) kepemilikan negara.
Dengan pembagian ini, Islam tidak akan bimbang memilah harta yang beredar di tengah masyarakat. Dari pembagian inilah, negara dapat mengelolanya berdasarkan klasifikasi tersebut.
Kedua, memprioritaskan terpenuhinya kebutuhan rakyat. Negara bisa melakukan kajian mendalam mengenai potensi kekayaan alam. Negara baru bisa melakukan ekspor jika kebutuhan di dalam negeri sudah terpenuhi dengan baik.
Ketiga, membangun industri berbasis pertahanan dan keamanan. Negara harus membuka pusat-pusat kajian dan riset, pelatihan dan laboratorium untuk mengajarkan sains industrial enginering, baik teori maupun terapan, seperti industri eksplorasi, pertambangan, pengolahan, dan kimia. Semua ini digunakan untuk menopang industri berat serta industri pertahanan dan keamanan negara.
Keempat, distribusi hasil pengelolaan kekayaan alam terstruktur dan terukur. Terstruktur berarti pendataan akurat serta kontrol dan pengawasan terpusat di tangan khalifah. Terukur maksudnya ialah rakyat harus merasakan secara adil dan merata hasil pengelolaan kekayaan alam tersebut.
Wallahua’lam bish-showab.
[LM, ak]