Sejahtera dengan Vokasi, Antara Realita dan Ilusi?

Oleh: Ummu Zhafran

Pegiat Literasi

 

Lensa Media News-Belum banyak yang tahu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022, tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi baru saja terbit. Dalam Perpres tersebut, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan Kemendikbud Ristek ditugasi untuk membawahi pendidikan vokasi, dengan leading sector berada di bawah Kemnaker (kumparan.com, 30/10/2022).

 

Belakangan vokasi memang naik daun. Program pendidikan yang digadang-gadang menjawab kebutuhan dunia industri dirasa semakin dibutuhkan. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menengarai dengan berjalannya vokasi, 70 persen atau sekitar 144 juta orang pekerja usia produktif bakal sejahtera sebelum memasuki usia tua.

 

Persoalannya, benarkah demikian? Sebab menarik untuk dicermati bahwa ouput dari pendidikan vokasi di sekolah-sekolah kejuruan maupun lembaga- pelatihan faktanya menempati jenjang yang rendah dalam hierarki dunia industri. Ingat, vokasi hanya mencetak tenaga kerja teknis bukannya para ahli. Pastinya standar gajinya pun mengikuti standar pekerja, bukan bosnya pekerja.

 

Hal itu wajar, sebab tentu tak asing lagi bahwa tabiat asli ekonomi kapitalisme meniscayakan segala sesuatu diukur berdasarkan manfaat, atau yang membawa keuntungan materi. Semakin besar manfaat yang bisa dipetik, semakin tinggi penghargaan (baca:gaji) yang diberikan. Sebaliknya makin rendah manfaat yang diperoleh perusahaan, makin kecil pula gaji yang diberikan. Di poin ini, harusnya tergambar sejauh mana produk pendidikan vokasi di mata industri, semata tenaga kerja yang bisa dibayar dengan gaji rendah. Padahal di sisi lain, para pekerja yang dihasilkan dari vokasi ini masih harus bersaing dengan jutaan pekerja atau calon pekerja lainnya yang memiliki bekal pendidikan yang sama atau bahkan lebih tinggi.

 

Wajar, bila publik kemudian menyangsikan kesejahteraan bakal terwujud. Alih-alih sejahtera di usia tua, faktanya justru, tingginya tingkat pengangguran disumbang oleh lulusan SMK bahkan menempati peringkat utama. Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan (Kabarenbang) Kemnaker Tri Retno Isnaningsih menyebutkan, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia sebesar 8,49%. TPT-nya paling tinggi adalah pada level SMK (8,49%). (detikfinance.com, 14/7/2020)

 

Blunder jadinya. Idealnya jika serius menginginkan terwujudnya kesejahteraan dan kemajuan bangsa, maka potensi generasi harus maksimal dilejitkan. Sebab bicara generasi berarti bicara soal pendidikan, sehingga kurikulum seharusnya disusun dengan matang hingga bisa menelurkan generasi yang berakhlak mulia dan menguasai sebagai ahli di bidangnya masing-masing. Keahlian yang dimiliki inilah yang nantinya akan sanggup menarik gerbong bangsa menjadi yang terdepan di dunia. Bukannya sekadar generasi yang siap bekerja by designed alias sesuai pesanan dunia usaha dan korporasi, kemudian pasrah dibayar dengan upah murah.

 

Amboi, andai Islam yang dijadikan rujukan, bukannya kapitalisme seperti saat ini tentu lain cerita. Dalam pandangan Islam, program pendidikan ditujukan bagi kemaslahatan umat manusia bukan hanya bagi segelintir orang dengan modal besarnya (korporat).

 

Selain ditanamkan akidah yang menjadi fondasi dalam berpikir dan bertingkah laku, peserta didik juga dibekali berbagai skill yang bisa berguna dalam hidup termasuk keterampilan jadi figur pemimpin yang amanah dan bertanggungjawab.

 

Tambahan lagi, kurikulum pendidikan dalam Islam tentu tidak luput dari pengembangan dan pemanfaatan teknologi. Namun hal tersebut dilakukan sebagai sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, bukan semata untuk mengejar perhiasan dunia. Oleh karena itu, kurikulum akan menyesuaikan terhadap kebutuhan manusia dengan tetap tidak melanggar syariat. Mengapa syariat? Ya, karena ketaatan pada syariat merupakan konsekuensi dari keimanan.

 

Syariat Islam kemudian mewajibkan negara menjamin seluruh hal di atas bisa terwujud maksimal. Mulai dari penyediaan sarana prasarana, gaji guru yang tinggi, dukungan terhadap riset, bahkan biaya pendidikan gratis, dan lain-lain.

 

Pada akhirnya, profil peradaban Islam menghasilkan generasi cemerlang tidak terbantahkan. Hal tersebut bisa dibaca dalam catatan sejarah peradaban dunia tertulis dengan tinta emas. Di masa itu, bahkan Barat pun terpesona hingga berbondong-bondong mengirimkan para pemuda dan pemudinya guna mencicipi kehebatan ilmu di lembaga pendidikan dan universitas di negeri-negeri muslim.

 

Kini, tak mustahil sejarah emas itu terulang kembali. Hanya saja ada syaratnya, terapkan kembali syariah Islam dengan kafah sebagaimana keadaan saat jejak kecemerlangan tersebut ditulis. Dengan penerapan syariat yang mengikuti teladan Baginda Rasulullah saw., maka kesejahteraan bagi segenap umat manusia tak lagi bagaikan ilusi namun menjelma jadi nyata diiringi keberkahan yang berlimpah dari langit juga bumi. Itu janji Allah, pasti adanya. Wallaahu a’lam. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis